Waktu, Jiwa, dan Tuhan: Tiga Konsep Kunci dalam Pemikiran Agustinus

Agustinus dari Hippo (354–430 M)
Sumber :
  • Image Creator Grok /Handoko

Bagi Agustinus, jiwa manusia adalah pusat eksistensi. Jiwa bukan hanya tempat berpikir dan merasa, tetapi juga ruang spiritual di mana manusia dapat menjumpai Tuhan. Ia menyebut jiwa sebagai citra Allah, karena di dalamnya terdapat kehendak, pengenalan, dan kasih.

"Pencarian Pengetahuan Sejati Dimulai dengan Kerendahan Hati" — Pesan Abadi dari Socrates

Dalam pemikirannya, jiwa manusia menyimpan struktur yang mencerminkan Tritunggal Mahakudus: memori (memory), intelek (understanding), dan kehendak (will). Ini bukan hanya struktur psikologis, tetapi juga cara untuk memahami manusia sebagai makhluk rohani yang memiliki kemampuan untuk mengenal dan mencintai Tuhan.

Jiwa juga menjadi tempat bersemayamnya waktu. Kenangan terhadap masa lalu, kesadaran terhadap masa kini, dan harapan akan masa depan—semuanya terjadi dalam jiwa. Di sinilah Agustinus melihat hubungan erat antara waktu dan jiwa. Tanpa jiwa, waktu tidak dapat dipahami.

Tetaplah Setia pada Kawanan Jika Ingin Hidup Mudah: Sindiran Tajam Friedrich Nietzsche terhadap Konformitas

Tuhan: Keabadian yang Mengatasi Segala Batas

Setelah merenungkan waktu dan jiwa, Agustinus sampai pada kesimpulan besar: Tuhan berada di luar waktu. Tuhan adalah kekal, tidak berubah, dan tidak mengalami pergeseran masa seperti manusia. Tuhan tidak memiliki masa lalu atau masa depan; bagi-Nya, segalanya adalah “kini” yang kekal.

Meninggalkan Zona Nyaman: Gagasan Nietzsche tentang Kebenaran dan Pengorbanan

Pandangan ini membedakan antara ciptaan dan Pencipta. Waktu adalah bagian dari ciptaan, dan jiwa manusia—walaupun bersifat rohani—masih berada dalam kerangka waktu. Tetapi Tuhan melampaui semua itu. Ia adalah sumber keberadaan, dasar segala kebaikan, dan tujuan akhir dari pencarian manusia.

Agustinus juga menolak pandangan bahwa Tuhan mengalami waktu seperti manusia. Sebaliknya, Tuhan menciptakan waktu dan menopang keberadaannya. Inilah yang membuat Tuhan tetap mengetahui segala sesuatu—bukan karena Ia “melihat ke masa depan”, tetapi karena Ia melihat segalanya secara serentak dalam kekekalan-Nya.

Halaman Selanjutnya
img_title