Agustinus dari Hippo: Sang Filsuf Gereja yang Menyatukan Iman dan Rasio
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA - Di balik nama besar Gereja Katolik dan fondasi pemikiran Kristen Barat, terselip sosok Agustinus dari Hippo (354–430 M), seorang filsuf dan teolog yang memiliki pengaruh luar biasa dalam membentuk cara berpikir dunia Barat selama lebih dari satu milenium. Ia tidak hanya dihormati sebagai orang suci oleh gereja, tetapi juga sebagai pemikir besar yang menjembatani antara iman dan rasio, antara filsafat Yunani dan ajaran Kristen.
Nama lengkapnya Aurelius Augustinus. Ia lahir di Tagaste, Afrika Utara (sekarang Aljazair), dari seorang ibu Kristen yang saleh bernama Monica dan ayah non-Kristen bernama Patricius. Masa muda Agustinus penuh gejolak. Ia mengejar kenikmatan duniawi, mencintai ilmu, dan berpindah-pindah keyakinan sebelum akhirnya bertobat dan menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat dan teologi.
Dari Hedonisme ke Kekudusan
Perjalanan spiritual Agustinus adalah kisah transformasi yang memukau. Sebelum memeluk iman Kristen secara total, Agustinus sempat bergabung dengan sekte Manikheisme—sebuah ajaran sinkretis yang memadukan unsur Persia, Kristen, dan Gnostik. Namun seiring waktu, ia merasa bahwa ajaran tersebut tidak mampu memberikan jawaban memuaskan atas pertanyaannya yang mendalam tentang kebenaran, kejahatan, dan jiwa manusia.
Kegelisahan intelektual membawanya ke Milan, tempat ia bertemu Uskup Ambrosius. Dari sanalah titik balik dimulai. Ambrosius memperkenalkan pendekatan alegoris dalam menafsirkan Kitab Suci, yang mengubah cara pandang Agustinus terhadap Alkitab dan menggoyahkan keyakinan filsafat sebelumnya.
Tahun 386 M, Agustinus mengalami pertobatan besar setelah membaca ayat dari Surat Roma yang menyuruhnya untuk “mengenakan Tuhan Yesus Kristus.” Ia dibaptis oleh Ambrosius dan memutuskan meninggalkan dunia akademik untuk mengabdi sebagai imam, dan kemudian menjadi Uskup Hippo.
Iman dan Rasio: Dua Sayap Menuju Kebenaran
Salah satu warisan utama Agustinus adalah kemampuannya merangkul rasio dalam terang iman. Ia percaya bahwa akal manusia memiliki tempat penting dalam memahami Tuhan, namun akal tidak bisa berjalan sendirian. Dalam karya terkenalnya, Confessiones (Pengakuan), Agustinus menunjukkan bahwa pencarian kebenaran sejati harus dimulai dari perenungan batin dan pengakuan akan kelemahan manusia.
Ia menulis, “Saya percaya agar saya dapat memahami.” Kalimat ini menjadi prinsip dasar bagi banyak pemikir skolastik sesudahnya, termasuk Anselmus dan Thomas Aquinas. Rasio bukan ditolak, tetapi disucikan oleh iman.
Agustinus juga dikenal karena konsepnya tentang “waktu” dalam Confessiones. Ia memandang waktu bukan sebagai realitas objektif, tetapi sebagai pengalaman jiwa. Menurutnya, masa lalu, masa kini, dan masa depan bukanlah tiga waktu yang nyata, melainkan tiga modus kesadaran: ingatan, perhatian, dan harapan. Gagasan ini bahkan memengaruhi perkembangan pemikiran modern tentang subjektivitas dan psikologi.
Negara Tuhan dan Negara Dunia
Karya monumentalnya De Civitate Dei (Kota Tuhan) ditulis sebagai respons terhadap runtuhnya Kekaisaran Romawi. Dalam karya ini, Agustinus membandingkan dua kota: Kota Tuhan (yang dibangun atas dasar cinta kepada Tuhan) dan Kota Dunia (yang dibangun atas dasar cinta diri dan kekuasaan). Menurut Agustinus, sejarah manusia adalah pergulatan antara dua cinta ini.
Buku ini menjadi fondasi bagi pemikiran politik Kristen selama berabad-abad. Ia menolak pandangan bahwa kebesaran politik adalah tanda berkat ilahi. Sebaliknya, keadilan dan tujuan akhir manusia, yaitu keselamatan, tidak bisa direduksi pada urusan duniawi.
Konsep lain yang menjadi khas Agustinus adalah doktrin original sin (dosa asal) dan pentingnya kasih karunia Allah. Ia menentang ajaran Pelagius yang menganggap manusia dapat mencapai keselamatan tanpa bantuan Tuhan. Bagi Agustinus, kehendak manusia telah rusak oleh dosa, dan hanya melalui kasih karunia ilahi manusia dapat diselamatkan.
Konsepsi ini membentuk pemahaman gereja tentang pembaptisan, keselamatan, dan bahkan menjadi fondasi teologi Reformasi ratusan tahun kemudian. Agustinus adalah jembatan antara dunia patristik dan zaman skolastik, antara ajaran gereja awal dan sistem pemikiran teologis yang akan mendominasi Abad Pertengahan.
Warisan dan Relevansi
Pengaruh Agustinus tidak berhenti pada zamannya. Ia menjadi inspirasi bagi pemikir Kristen seperti Anselmus, Bonaventura, Thomas Aquinas, bahkan Martin Luther dan John Calvin. Ia juga dikaji oleh filsuf sekuler seperti Descartes dan Heidegger. Karya-karyanya tidak hanya dibaca di seminari, tetapi juga di fakultas filsafat dan sastra di seluruh dunia.
Di era digital seperti sekarang, ketika manusia kembali mempertanyakan makna, identitas, dan keberadaan, pemikiran Agustinus terasa relevan. Ia mengajarkan bahwa pencarian kebenaran sejati tidak hanya lewat data atau algoritma, tapi lewat kejujuran batin dan kerendahan hati di hadapan realitas yang lebih besar dari diri sendiri.
Penutup
Agustinus dari Hippo bukan sekadar teolog atau uskup. Ia adalah seorang filsuf sejati, yang hidup di masa transisi besar namun mampu menjawab tantangan zaman dengan kedalaman refleksi dan keluhuran iman. Ia tidak menghapus rasio dari spiritualitas, tetapi justru menunjukkan bahwa keduanya bisa berjalan beriringan menuju satu tujuan: kebenaran.