Empedokles dan Anaxagoras: Mencari Unsur Dasar Kehidupan dan Akal Semesta
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA – Setelah pertarungan intelektual antara Herakleitos yang menekankan perubahan abadi dan Parmenides yang menyatakan bahwa perubahan adalah ilusi, muncul para filsuf yang mencoba mencari jalan tengah. Di antara mereka yang paling berpengaruh adalah Empedokles dari Akragas dan Anaxagoras dari Klazomenai. Keduanya mencoba menjawab pertanyaan mendasar filsafat: “Apakah hakikat dasar dari segala yang ada di dunia ini?” dan “Apa yang mengatur keteraturan di alam semesta?”
Empedokles dan Anaxagoras tidak hanya menjadi perintis dalam menjembatani dua kutub pemikiran sebelumnya, tetapi juga membuka jalan bagi perkembangan sains dan metafisika di masa berikutnya. Artikel ini mengulas gagasan keduanya dalam pencarian unsur-unsur dasar kehidupan serta peran akal dalam mengatur semesta.
Empedokles: Empat Unsur Dasar Alam dan Dua Kekuatan Kosmik
Empedokles (495–435 SM) merupakan seorang filsuf, penyair, sekaligus penyembuh dari Akragas, Sisilia. Ia terkenal dengan teorinya yang menyatakan bahwa semua benda di alam semesta tersusun dari empat unsur abadi: tanah, air, udara, dan api. Keempat unsur ini tidak diciptakan dan tidak dimusnahkan, melainkan selalu mengalami perubahan bentuk melalui kombinasi dan pemisahan.
Yang membuat gagasannya menonjol adalah konsep dua kekuatan kosmik yang bekerja secara berlawanan:
- Cinta (Philia): menyatukan unsur-unsur.
- Benci (Neikos): memisahkan unsur-unsur.
Menurut Empedokles, seluruh perubahan dan pergerakan di alam semesta merupakan akibat dari interaksi antara cinta dan benci terhadap unsur-unsur tersebut. Ketika cinta mendominasi, alam cenderung bersatu; ketika benci menguasai, terjadilah perpecahan dan kehancuran. Dengan demikian, ia menawarkan penjelasan yang seimbang antara perubahan dan keabadian.
Menariknya, teori ini tidak hanya filosofis, tetapi juga sangat dekat dengan konsep-konsep awal kimia dan biologi. Empedokles bahkan menyatakan bahwa makhluk hidup terbentuk melalui kombinasi acak bagian-bagian tubuh yang pada akhirnya cocok dan bertahan.
Anaxagoras: Segalanya Ada dalam Segalanya dan Kekuatan Nous (Akal)
Anaxagoras (500–428 SM), yang hidup di Athena dan menjadi guru tokoh besar seperti Perikles dan mungkin juga Socrates, mengembangkan pendekatan yang berbeda. Ia menolak ide bahwa hanya ada satu atau empat unsur dasar, dan menyatakan bahwa segala sesuatu tersusun dari ‘benih-benih’ atau partikel kecil tak terlihat yang disebut spermata.
Setiap benda memiliki partikel dari segala jenis benda lain di dalamnya. Misalnya, dalam sehelai rambut manusia terdapat partikel-partikel dari tulang, daging, dan bahkan emas—tetapi dalam kadar yang sangat kecil. Inilah asal mula prinsip “segala sesuatu ada dalam segala sesuatu”.
Namun, yang paling monumental dari ajaran Anaxagoras adalah konsep Nous (akal). Menurutnya, Nous adalah kekuatan kosmik yang memulai gerakan pertama di alam semesta. Ia adalah prinsip yang murni, abadi, tak bercampur, dan memiliki pengetahuan sempurna. Nous tidak hanya mengatur dunia, tetapi juga menciptakan tatanan dari kekacauan awal.
Dalam pandangan ini, Anaxagoras menjadi filsuf pertama dalam sejarah Barat yang mengaitkan prinsip rasional (akal) dengan struktur dan proses alam semesta. Gagasannya menjadi cikal bakal bagi ide-ide besar Plato dan filsuf idealis lainnya.
Menjembatani Perubahan dan Keabadian
Baik Empedokles maupun Anaxagoras berupaya menggabungkan dua pandangan besar sebelumnya:
- Dari Herakleitos, mereka mengakui bahwa alam mengalami perubahan.
- Dari Parmenides, mereka tetap mempertahankan bahwa unsur-unsur dasar tidak berubah.
Dengan demikian, keduanya memberi solusi elegan terhadap paradoks antara perubahan dan ketetapan. Perubahan bukanlah penciptaan dari ketiadaan, tetapi hanya transformasi dari unsur atau partikel yang sudah ada. Mereka menggeser pemikiran filsafat dari spekulasi murni menjadi penjelasan kosmologis yang lebih rasional dan sistematis.
Awal Ilmu Pengetahuan dan Metafisika Modern
Gagasan Empedokles tentang unsur tanah, air, udara, dan api menjadi pengaruh besar dalam dunia alkimia dan kedokteran kuno, termasuk dalam tradisi Hippocrates dan Galen. Sementara itu, konsep Anaxagoras tentang partikel-partikel dasar menjadi pendahulu teori atom dan fisika modern, dan konsep Nous menjadi fondasi bagi metafisika rasional.
Plato dan Aristoteles sangat menghargai kontribusi Anaxagoras, meskipun kemudian menyempurnakan pandangan tentang Nous dan jiwa dunia. Bahkan dalam era Pencerahan dan sains modern, banyak ilmuwan dan filsuf tetap mengutip dua tokoh ini sebagai pionir.
Relevansi dalam Kehidupan Modern
Meskipun gagasan mereka berasal dari abad ke-5 SM, pemikiran Empedokles dan Anaxagoras tetap memiliki daya tarik kontemporer. Di tengah tantangan global seperti perubahan iklim, krisis energi, dan pencarian makna hidup, kita diingatkan bahwa alam semesta memiliki struktur, tatanan, dan dinamika yang dapat dipahami—asal kita mau bertanya dan berpikir.
Konsep Empedokles tentang keseimbangan antara cinta dan benci, atau konsep Anaxagoras tentang akal sebagai pengatur, mengajak manusia modern untuk tidak kehilangan arah dalam dunia yang semakin kompleks dan kacau. Mereka mengajarkan bahwa alam tidak berjalan secara acak, melainkan memiliki prinsip dan logika yang bisa dijelajahi melalui filsafat dan ilmu pengetahuan.
Dua Pilar Filsafat Kosmologis
Empedokles dan Anaxagoras telah memberikan fondasi yang kuat bagi pemikiran ilmiah dan metafisika. Mereka membawa filsafat keluar dari perdebatan spekulatif menuju penjelasan yang lebih sistematis dan rasional.
Di satu sisi, Empedokles dengan unsur dan kekuatannya mengajarkan tentang keseimbangan dan dinamika alam. Di sisi lain, Anaxagoras dengan konsep Nous menyatakan bahwa akal adalah kekuatan tertinggi yang mengatur semesta.
Dari dua pemikiran inilah, jalan menuju Plato, Aristoteles, dan seluruh sejarah filsafat dan sains dunia terbentang luas.