Menelusuri Jejak Pemikiran René Descartes dan Plato: Rasio, Realitas, dan Kebenaran
- Image Creator Grok/Handoko
Malang, WISATA - René Descartes dan Plato adalah dua tokoh yang menjadi fondasi utama dalam sejarah filsafat, meskipun keduanya hidup dalam jarak waktu lebih dari satu milenium dan berasal dari latar budaya yang sangat berbeda. Descartes, filsuf abad ke-17 asal Prancis, dianggap sebagai bapak filsafat modern. Sementara Plato, murid Socrates yang hidup di abad ke-4 SM, adalah arsitek besar dari fondasi filsafat klasik Yunani. Kedua pemikir ini berusaha menjawab pertanyaan mendasar tentang hakikat pengetahuan, realitas, dan bagaimana manusia bisa mencapai kebenaran.
Pandangan tentang Realitas: Dunia Ide dan Rasionalisme
Plato dikenal dengan teorinya yang paling monumental: teori tentang Dunia Ide (Forms). Menurutnya, dunia yang kita lihat dan alami sehari-hari hanyalah bayangan dari realitas sejati yang bersifat abadi dan tidak berubah. Misalnya, segala bentuk keindahan yang kita lihat di dunia hanyalah cerminan dari “ide” keindahan yang sempurna, yang eksis di luar ruang dan waktu. Bagi Plato, tugas filsuf adalah menyadari keberadaan dunia ide ini dan membebaskan diri dari ilusi dunia material.
René Descartes, di sisi lain, tidak membagi dunia dalam kerangka metafisika ide seperti Plato, namun ia juga mencurigai dunia fisik. Bagi Descartes, indra tidak dapat dipercaya sepenuhnya karena bisa menipu. Karena itu, ia memulai pencarian kebenaran dari titik keraguan total dan menyimpulkan bahwa satu-satunya hal yang tak dapat diragukan adalah fakta bahwa dirinya sedang berpikir. Dari sinilah muncul Cogito, ergo sum — Aku berpikir, maka aku ada. Realitas yang dapat dipercaya menurut Descartes adalah realitas yang dijamin oleh akal dan dapat diuji melalui metode rasional.
Keduanya setuju bahwa dunia kasatmata bukan sumber pengetahuan sejati, namun perbedaan keduanya terletak pada pendekatannya: Plato menggunakan intuisi metafisis dan alegori, seperti dalam “Alegori Gua”, sedangkan Descartes menggunakan analisis logis dan keraguan metodis sebagai alat untuk menemukan kebenaran.
Sumber Pengetahuan: Akal sebagai Jalan Menuju Kebenaran
Plato menganggap pengetahuan sejati bersifat apriori, tidak didapat dari pengalaman melainkan dari jiwa yang pernah melihat Dunia Ide sebelum turun ke tubuh. Dalam dialog-dialognya, seperti “The Republic” atau “Meno”, ia menjelaskan bahwa belajar adalah proses “mengingat” (anamnesis) atas pengetahuan yang telah dimiliki oleh jiwa sebelumnya.
Descartes juga memandang bahwa pengetahuan sejati harus bersifat pasti dan jelas, serta datang dari rasio, bukan dari pengalaman inderawi. Namun tidak seperti Plato yang memadukan metafisika dan mitologi, Descartes lebih ketat dalam logika dan matematika. Ia percaya bahwa dengan menggunakan metode deduktif dan akal budi yang bersih dari prasangka, manusia bisa sampai pada pengetahuan yang tak terbantahkan.
Dengan kata lain, baik Plato maupun Descartes menjadikan akal sebagai jalan utama untuk meraih kebenaran, namun Plato mengaitkannya dengan dimensi spiritual dan ontologis, sedangkan Descartes membingkainya dalam logika ilmiah dan sistematis.
Pandangan tentang Tuhan: Kausalitas dan Kesempurnaan
Plato menempatkan prinsip Ilahi dalam konsep “Form of the Good” atau “Ide tentang Kebaikan Tertinggi” yang menjadi sumber dari segala kebenaran dan keindahan. Meskipun ia tidak menyebut Tuhan secara eksplisit dalam terminologi teistik, konsep ini memiliki peran metafisis yang hampir serupa dengan peran Tuhan dalam agama.
Sementara itu, Descartes secara tegas membuktikan keberadaan Tuhan dalam tulisannya. Bagi Descartes, Tuhan adalah makhluk yang sempurna dan eksistensinya penting untuk menjamin bahwa akal manusia tidak diciptakan untuk tertipu. Tanpa Tuhan yang sempurna dan baik, manusia tidak bisa mempercayai kebenaran pikirannya sendiri. Oleh karena itu, dalam filsafat Descartes, Tuhan menjadi jaminan epistemologis agar pikiran manusia tidak tersesat.
Tujuan Filsafat: Jalan Menuju Kebijaksanaan dan Kebebasan
Bagi Plato, filsafat adalah jalan untuk membebaskan jiwa dari belenggu kebodohan dan dunia inderawi. Tujuannya adalah mencapai pengetahuan tertinggi, hidup dalam kebajikan, dan menyatu kembali dengan dunia yang sempurna — Dunia Ide. Ia percaya bahwa masyarakat ideal hanya bisa dibangun oleh para filsuf, karena hanya mereka yang memahami Kebaikan Tertinggi.
Descartes memiliki tujuan filsafat yang lebih individual dan rasional. Ia tidak membangun masyarakat ideal seperti Plato, tetapi mengajarkan cara untuk membersihkan pikiran dari kesalahan dan membangun pengetahuan yang pasti. Descartes ingin memberikan fondasi bagi ilmu pengetahuan modern, di mana manusia bisa memahami alam semesta dengan pasti dan objektif.
Penutup: Dua Arah Menuju Kebenaran
Meskipun berasal dari zaman dan kerangka pemikiran yang berbeda, Plato dan Descartes sama-sama menegaskan bahwa akal manusia adalah alat utama untuk memahami realitas. Plato bergerak ke arah metafisika dan spiritualitas, menjadikan filsafat sebagai sarana pembebasan jiwa. Descartes bergerak ke arah sains dan kepastian logis, menjadikan filsafat sebagai pondasi metodologi ilmiah.
Perbedaan mereka mencerminkan transformasi besar dalam sejarah filsafat: dari pencarian kebenaran melalui mitos dan intuisi, menuju pencarian kebenaran melalui rasionalisme dan metode ilmiah. Namun keduanya tetap relevan hingga kini, ketika manusia modern masih bergulat dengan pertanyaan yang sama: Apa yang benar? Apa yang nyata? Dan bagaimana kita bisa mengetahuinya?