Sains, Anak Kandung Islam yang Dibuang: Peran Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Aristoteles
- Image Creator Bing/Handoko
Malang, WISATA - Dalam perjalanan sejarah manusia, ilmu pengetahuan telah menjadi pilar penting dalam membangun peradaban. Namun, tidak banyak yang menyadari bahwa pada suatu masa, dunia Islam pernah menjadi pusat keilmuan dunia, tempat filsafat dan sains berkembang pesat. Tokoh-tokoh seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Aristoteles menjadi fondasi dari tradisi intelektual yang diwariskan kepada peradaban Barat. Ironisnya, warisan ini perlahan memudar di dunia Islam sendiri, meninggalkan pertanyaan mendalam: mengapa "anak kandung" Islam yang bernama sains ini justru terabaikan?
Aristoteles: Inspirasi bagi Dunia Islam
Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno, adalah salah satu pemikir terbesar yang meletakkan dasar bagi berbagai disiplin ilmu, mulai dari logika hingga biologi. Setelah Kekaisaran Romawi Barat runtuh, banyak karya Aristoteles yang hilang di Eropa. Namun, dunia Islam menjadi pelestari karya-karya ini melalui penerjemahan dan pengembangan.
Pada abad ke-8 hingga ke-12, dinasti Abbasiyah, melalui Baitul Hikmah di Baghdad, memimpin upaya penerjemahan besar-besaran karya-karya Yunani kuno, termasuk tulisan Aristoteles, ke dalam bahasa Arab. Inilah titik awal bagaimana Aristoteles menjadi inspirasi bagi para filsuf Muslim.
Al-Farabi: Filsuf dan Guru Kedua
Al-Farabi (872–950 M), yang dikenal sebagai "Guru Kedua" setelah Aristoteles, adalah salah satu tokoh penting yang menghubungkan tradisi Yunani dengan dunia Islam. Ia tidak hanya menerjemahkan karya-karya Aristoteles, tetapi juga mengembangkan gagasannya agar sesuai dengan konteks dunia Islam.
Dalam karya terkenalnya, Al-Madina Al-Fadhila (Kota Utama), Al-Farabi menjelaskan pandangannya tentang masyarakat ideal yang dipimpin oleh seorang pemimpin bijaksana, mirip dengan konsep filsuf-raja Aristoteles. Ia juga menulis tentang logika, musik, dan metafisika, menjadikan dirinya sebagai pemikir yang serba bisa.