Mengapa Pemikiran Aristoteles Menjadi Pilar dalam Tradisi Filsafat Islam?
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA - Filsafat Islam merupakan cabang ilmu pengetahuan yang berkembang pesat pada masa keemasan Islam, khususnya antara abad ke-8 hingga ke-12. Salah satu tokoh yang menjadi pusat perhatian dalam perkembangan filsafat Islam adalah Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno yang pemikirannya memiliki pengaruh mendalam terhadap banyak filsuf Muslim.
Dari Baghdad hingga Cordoba, pemikiran Aristoteles tidak hanya diterjemahkan tetapi juga dikaji, dikembangkan, dan bahkan diintegrasikan dengan ajaran Islam. Artikel ini akan mengulas bagaimana pemikiran Aristoteles menjadi pilar penting dalam tradisi filsafat Islam, serta mengapa warisannya masih relevan hingga saat ini.
Aristoteles dan Dunia Islam: Awal Pertemuan
Pemikiran Aristoteles masuk ke dunia Islam melalui proses penerjemahan besar-besaran yang dilakukan pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya di bawah pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun. Dalam upaya untuk menguasai ilmu pengetahuan dunia, Al-Ma'mun mendirikan Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad.
Di lembaga ini, teks-teks Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh para ilmuwan dan penerjemah, seperti Hunayn ibn Ishaq dan Al-Kindi. Karya Aristoteles, termasuk Organon, Metafisika, dan Etika Nikomakheia, menjadi bahan studi utama bagi para filsuf Muslim.
Namun, filsafat Aristoteles tidak hanya diterjemahkan secara harfiah. Para filsuf Muslim, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd, memberikan interpretasi dan komentar terhadap karya Aristoteles, menjadikannya lebih relevan dengan tradisi intelektual dan spiritual Islam.
Mengapa Pemikiran Aristoteles Menarik bagi Filsuf Muslim?