Alexander Agung dan Taktik Perangnya: Revolusi Militer atau Kebrutalan Murni?
- Handoko/Istimewa
Salah satu contoh paling terkenal dari kekejaman ini adalah ketika Alexander menghancurkan kota Tyre pada tahun 332 SM. Setelah pengepungan yang berlangsung selama tujuh bulan, pasukannya akhirnya berhasil menaklukkan kota tersebut. Namun, Alexander memutuskan untuk memberikan hukuman berat bagi penduduk Tyre sebagai peringatan bagi kota-kota lain yang mungkin berani melawannya. Sebagian besar penduduk Tyre dibantai, dan yang tersisa dijual sebagai budak. Tindakan ini mengukuhkan reputasi Alexander sebagai penguasa yang keras dan tak kenal ampun.
Di India, Alexander juga menggunakan taktik brutal saat menghadapi perlawanan lokal. Ketika menghadapi Raja Porus di Pertempuran Sungai Hydaspes, Alexander menunjukkan kebrutalannya dengan memerintahkan penjarahan desa-desa di sekitar untuk memperlemah moral lawan. Meskipun ia kemudian memperlakukan Porus dengan hormat setelah kemenangan, penaklukannya di wilayah tersebut penuh dengan kekerasan.
Revolusi atau Kebrutalan?
Pertanyaan apakah taktik perang Alexander merupakan revolusi militer atau sekadar kebrutalan murni masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Di satu sisi, ia jelas memperkenalkan inovasi taktik yang membawa angin segar dalam strategi militer saat itu. Manuver cepat, penggunaan formasi falanks yang cerdas, dan kepemimpinan langsung di medan perang menjadikannya salah satu jenderal paling cemerlang dalam sejarah.
Di sisi lain, kebrutalan yang ia gunakan tidak bisa diabaikan. Penjarahan kota, pembantaian massal, dan kekerasan yang berlebihan sering kali digunakan sebagai alat politik untuk memperkuat kekuasaan Alexander. Meskipun metode ini efektif dalam mempercepat penaklukannya, apakah ini bisa disebut revolusi militer, atau hanya kebrutalan yang dibenarkan oleh tujuan politik?
Alexander Agung adalah sosok yang kompleks. Di satu sisi, ia adalah seorang jenderal yang revolusioner, yang memperkenalkan taktik militer yang mengubah jalannya sejarah. Di sisi lain, ia juga adalah pemimpin yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan ekstrem untuk mencapai tujuannya. Perdebatan mengenai apakah taktiknya merupakan revolusi atau kebrutalan akan terus berlanjut, tetapi yang pasti adalah bahwa pengaruhnya terhadap strategi militer tidak bisa diabaikan.