Mengapa Plato Mengkritik Demokrasi? Pelajaran dari Kejatuhan Athena untuk Politik Hari Ini
- Image Creator bing/Handoko
Malang, WISATA - Plato, salah satu filsuf terbesar dari Yunani kuno, dikenal luas karena kritiknya terhadap demokrasi. Meskipun demokrasi sering dianggap sebagai sistem pemerintahan yang ideal di dunia modern, Plato melihat kelemahan-kelemahan mendasar dalam sistem ini. Kritik Plato terhadap demokrasi tidak muncul begitu saja; ia dibentuk oleh pengalaman pribadi dan pengamatannya terhadap kejatuhan Athena, salah satu negara-kota paling berpengaruh pada masanya. Melalui karya-karyanya, terutama Republik, Plato menyampaikan pandangannya tentang mengapa demokrasi, meskipun penuh kebebasan, bisa membawa bencana bagi masyarakat.
Pengalaman Plato dengan Kejatuhan Athena
Athena adalah pusat peradaban dan budaya Yunani, terkenal dengan sistem demokrasinya yang memungkinkan warga negara untuk berpartisipasi langsung dalam pemerintahan. Namun, pada akhir abad ke-5 SM, Athena mengalami krisis besar yang berujung pada kehancurannya dalam Perang Peloponnesia melawan Sparta. Kejatuhan ini membawa dampak besar pada Plato, terutama karena peristiwa tersebut terjadi di bawah sistem demokrasi yang ia saksikan sendiri.
Plato melihat bagaimana demokrasi Athena gagal mempertahankan kestabilan dan keadilannya. Warga Athena, yang memiliki hak suara dalam keputusan politik, sering kali dipengaruhi oleh orator yang pandai berbicara tetapi tidak selalu bijak. Mereka kerap mengambil keputusan berdasarkan emosi, bukan berdasarkan pertimbangan rasional. Salah satu insiden yang sangat mempengaruhi Plato adalah eksekusi Socrates, gurunya, yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan rakyat atas tuduhan merusak pemuda dan tidak mengakui dewa-dewa yang diakui negara.
Kritik Plato terhadap Demokrasi: Pemerintahan oleh yang Tidak Terlatih
Plato melihat demokrasi sebagai sistem di mana keputusan penting diserahkan kepada orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan atau keahlian yang memadai. Dalam Republik, ia menggunakan analogi kapal untuk menggambarkan kritiknya. Menurut Plato, membiarkan demokrasi berjalan tanpa bimbingan sama saja dengan membiarkan kapal besar dikemudikan oleh penumpangnya yang tidak berpengalaman, alih-alih oleh seorang kapten yang terlatih dan memahami navigasi. Bagi Plato, ini adalah inti masalah demokrasi: terlalu banyak orang yang tidak memenuhi syarat untuk membuat keputusan penting.
Plato berpendapat bahwa demokrasi memberi kebebasan berlebih kepada warga negara, sehingga mereka sering kali membuat keputusan yang tidak bijaksana atau merugikan. Kepentingan jangka pendek dan populisme menjadi lebih dominan daripada pertimbangan jangka panjang dan kebaikan umum. Hasilnya, kebijakan yang diambil cenderung tidak stabil dan berpotensi membahayakan masyarakat.
Pemimpin yang Tidak Kompeten dan Bahaya Populisme
Salah satu kritik terbesar Plato adalah terhadap fenomena pemimpin yang terpilih karena popularitas, bukan karena kebijaksanaan atau kemampuan mereka. Dalam demokrasi Athena, siapa pun bisa dipilih menjadi pemimpin selama ia berhasil mendapatkan suara rakyat, terlepas dari kualitas atau kompetensinya. Plato menilai bahwa ini mengarah pada terpilihnya pemimpin yang hanya pandai berbicara, memanipulasi opini publik, atau menjanjikan hal-hal yang populis tanpa memikirkan implikasinya.
Populisme menjadi isu sentral dalam kritik Plato. Ia percaya bahwa pemimpin yang berkuasa melalui janji-janji manis sering kali tidak memikirkan kesejahteraan jangka panjang negara. Mereka lebih fokus pada mempertahankan popularitas daripada membuat keputusan yang benar-benar bermanfaat. Ini adalah salah satu pelajaran yang menurut Plato bisa diambil dari kejatuhan Athena: bahwa sistem yang tidak memperhatikan kualitas kepemimpinan akan menghadapi masalah besar.
Kebutuhan akan Kepemimpinan Bijak: Filsuf Raja
Sebagai alternatif, Plato menawarkan konsep "filsuf-raja" — pemimpin yang bijaksana dan terlatih dalam filsafat, etika, dan pemerintahan. Menurut Plato, hanya mereka yang memahami kebenaran dan memiliki kemampuan untuk membuat keputusan yang rasional dan adil yang seharusnya memimpin. Ia percaya bahwa kepemimpinan yang bijaksana adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang stabil dan sejahtera.
Plato berargumen bahwa seorang filsuf-raja tidak akan terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau tekanan populis, tetapi akan selalu bertindak demi kebaikan bersama. Bagi Plato, pemerintahan terbaik adalah yang dipimpin oleh individu-individu yang paling memahami prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, bukan oleh mereka yang hanya pandai berorasi atau memiliki daya tarik popularitas.
Relevansi Kritik Plato dalam Politik Modern
Kritik Plato terhadap demokrasi sering kali dilihat sebagai refleksi dari ketidakpuasannya terhadap sistem politik di zamannya, tetapi pemikirannya masih memiliki relevansi dalam konteks politik modern. Meskipun dunia telah mengalami banyak perubahan sejak masa Plato, tantangan yang ia gambarkan masih bisa dilihat dalam dinamika politik saat ini, seperti munculnya pemimpin populis yang fokus pada janji-janji populis daripada solusi yang nyata.
Masalah pemilihan pemimpin berdasarkan popularitas atau kemampuan retorika, bukan pada kompetensi dan pengetahuan yang sesungguhnya, masih terjadi di berbagai negara. Kritik Plato mendorong kita untuk mempertimbangkan kembali kriteria kepemimpinan yang ideal. Apakah kita menginginkan pemimpin yang hanya menenangkan hati kita dengan kata-kata manis, atau pemimpin yang benar-benar tahu apa yang terbaik untuk masyarakat?
Plato juga mengingatkan kita bahwa demokrasi, meskipun memberikan kebebasan yang luas, perlu diimbangi dengan pendidikan politik yang baik dan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai keadilan. Jika tidak, masyarakat berisiko memilih pemimpin yang salah atau mendukung kebijakan yang merugikan.
Pelajaran dari Kejatuhan Athena untuk Hari Ini
Pelajaran penting yang dapat kita ambil dari kritik Plato dan kejatuhan Athena adalah pentingnya kualitas dalam kepemimpinan. Demokrasi tidak harus ditinggalkan, tetapi harus dilengkapi dengan mekanisme yang memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk memimpin. Edukasi publik, transparansi, dan akuntabilitas adalah beberapa hal yang bisa diperkuat untuk menghindari jebakan populisme.
Meskipun dunia mungkin tidak siap untuk dipimpin oleh filsuf seperti yang diidealkan oleh Plato, konsep kepemimpinan bijaksana dan beretika tetap menjadi inspirasi bagi upaya menciptakan pemerintahan yang lebih baik. Kita perlu memikirkan bagaimana sistem politik dapat mengakomodasi suara rakyat sekaligus menjaga kualitas kepemimpinan yang bijak dan bertanggung jawab.