Belajar dari Filsuf Stoik: Kunci Ketahanan dan Keteguhan dalam Menghadapi Hidup
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA — Dalam menghadapi gelombang tantangan kehidupan, filosofi Stoik mengajarkan kita untuk menjadi seperti batu karang yang tetap teguh meski dihantam ombak. Filsuf Romawi terkenal, Marcus Aurelius, pernah menulis, "Jadilah seperti batu yang terus diterpa gelombang. Ia tetap tidak tergoyahkan dan amukan lautan pun akhirnya mereda di sekelilingnya."
Pertanyaan tentang bagaimana kita seharusnya hidup dan bertahan telah dipikirkan selama berabad-abad. Albert Camus, filsuf Absurdist, menganalogikan hidup sebagai tugas Sisyphus: mendorong batu ke puncak gunung hanya untuk melihatnya jatuh kembali, berulang-ulang, selamanya. Menurut Camus, kunci dari semua ini adalah membayangkan Sisyphus tetap bahagia. Maka pertanyaannya, bagaimana kita bisa bertahan dengan baik? Bagaimana kita bisa tetap bahagia?
Filsuf Stoik seperti Marcus Aurelius, Seneca, dan Epictetus telah memberikan banyak pelajaran tentang bagaimana manusia dapat bertahan, bahkan dalam kondisi terburuk seperti perang, pengasingan, wabah, hingga penjara. Filosofi mereka tidak hanya bicara tentang ketahanan mental, tetapi juga tentang menjaga integritas moral dan nilai-nilai kemanusiaan di tengah penderitaan.
Apa Arti Bertahan Menurut Stoikisme?
Marcus Aurelius mengajarkan untuk selalu mempertanyakan diri sendiri saat menghadapi kesulitan: "Tanyakan, 'Mengapa ini begitu tak tertahankan? Mengapa aku tidak bisa menahannya?' Kau akan malu dengan jawabannya."
Salah satu contoh nyata adalah James Stockdale, seorang perwira militer yang menjadi tawanan perang di Vietnam selama lebih dari tujuh tahun. Berkat prinsip Stoik, ia tidak hanya mampu bertahan secara fisik, tetapi juga menjaga kehormatan dan moralitasnya.
Ketahanan sejati menurut Stoikisme bukan sekadar "bertahan hidup", melainkan bertahan dengan tetap memegang teguh prinsip dan kebajikan, tanpa membiarkan diri dikalahkan oleh keadaan.