Pemikiran Socrates tentang Moralitas: Apakah Etika Lahir dari Jiwa atau Lingkungan?

Socrates di tengah Warga Athena (ilustrasi)
Sumber :
  • Handoko/Istimewa

Malang, WISATA - Socrates, salah satu filsuf paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat, telah meninggalkan warisan yang mendalam tentang moralitas dan etika. Melalui dialog-dialog yang terkenal, filsuf ini menjelajahi pertanyaan mendasar yang masih relevan hingga saat ini: Apakah etika, atau rasa moralitas, lahir dari jiwa manusia atau dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor eksternal?

Jejak Pemikiran Aristoteles: Bagaimana Filsuf Muslim Mengembangkan Gagasan Sang Filsuf Yunani

Pertanyaan ini tidak hanya menjadi dasar pemikiran filosofis Socrates tetapi juga mencerminkan pencariannya akan kebaikan dan kebajikan dalam kehidupan. Baginya, moralitas bukan sekadar serangkaian aturan yang ditetapkan oleh masyarakat, melainkan pencerminan dari kebenaran yang lebih mendalam yang berkaitan dengan jiwa manusia.

Moralitas dalam Pandangan Socrates

Anna Karenina: Keterikatan Cinta dan Pengorbanan dalam Karya Abadi Tolstoy

Socrates meyakini bahwa kebajikan (atau areté) adalah pengetahuan, dan kebajikan itu melekat pada jiwa manusia. Baginya, orang yang benar-benar tahu apa yang baik pasti akan melakukan kebaikan. Hal ini berbeda dengan pandangan moralitas yang dianggap sebagai sekadar kepatuhan terhadap norma atau aturan sosial.

Socrates tidak memandang kebajikan sebagai sesuatu yang diperoleh dari lingkungan atau pendidikan luar semata. Sebaliknya, ia percaya bahwa moralitas adalah bagian dari struktur internal manusia yang dapat ditemukan melalui introspeksi dan refleksi diri. Ini dapat dilihat dalam dialog-dialog Socratic, di mana dia terus-menerus mendorong lawan bicaranya untuk mempertanyakan dan menggali lebih dalam tentang keyakinan mereka sendiri.

Kunci Hidup Bermakna Menurut Aristoteles: Kebajikan atau Kecerdasan?

Pandangan ini mencerminkan kepercayaan Socrates bahwa jiwa manusia, pada intinya, mengandung potensi untuk mencapai kebajikan. Hanya melalui pencarian dan pemahaman akan kebajikan inilah seseorang dapat hidup secara moral.

Jiwa sebagai Sumber Moralitas

Salah satu prinsip fundamental dalam ajaran Socrates adalah bahwa moralitas berasal dari dalam jiwa. Dalam dialog-dialognya yang ditulis oleh muridnya, Plato, Socrates berargumen bahwa manusia harus mengenali dirinya sendiri sebelum dapat memahami apa yang benar atau salah. Baginya, proses pengenalan diri ini bukan hanya sekadar latihan intelektual, tetapi merupakan jalan menuju pemahaman etika yang mendalam.

Dalam dialog "Apologia", misalnya, Socrates menggambarkan tugas hidupnya sebagai "merawat jiwa" dengan mengejar kebijaksanaan dan kebajikan. Ia percaya bahwa tanpa pemahaman yang mendalam tentang jiwa kita sendiri, kita tidak dapat mencapai kebajikan yang sejati.

Socrates juga terkenal dengan konsep bahwa “kejahatan berasal dari ketidaktahuan.” Dalam pandangannya, tidak ada orang yang secara sengaja melakukan hal yang salah. Jika seseorang melakukan sesuatu yang dianggap jahat, itu karena mereka tidak benar-benar memahami apa yang baik. Oleh karena itu, pendidikan dan pencarian kebijaksanaan menjadi sangat penting bagi Socrates dalam mencapai moralitas.

Lingkungan dan Pengaruh Sosial

Meskipun Socrates lebih fokus pada jiwa sebagai sumber moralitas, dia tidak menafikan peran lingkungan dan masyarakat dalam membentuk perilaku etis seseorang. Sebagai seorang filsuf yang hidup di Athena kuno, dia sering berinteraksi dengan berbagai kelompok sosial dan politik, dan banyak dialognya yang terfokus pada kritik terhadap nilai-nilai yang berlaku di masyarakat Athena pada masa itu.

Socrates percaya bahwa masyarakat sering kali gagal mengajarkan kebajikan yang sejati. Dalam pandangannya, norma-norma sosial sering kali didasarkan pada pendapat mayoritas, yang mungkin tidak selalu mencerminkan kebenaran atau kebajikan. Misalnya, dalam dialog "Gorgias", Socrates mempertanyakan apakah kekuasaan dan kepemimpinan politik yang dihargai oleh masyarakat Athena pada saat itu benar-benar mencerminkan kebajikan sejati.

Namun, meskipun lingkungan dapat mempengaruhi cara seseorang bertindak atau berpikir, Socrates meyakini bahwa etika sejati harus melampaui pengaruh eksternal ini. Moralitas yang sesungguhnya hanya dapat ditemukan melalui pencarian internal dan pemahaman tentang apa yang benar-benar baik bagi jiwa.

Apakah Etika Bersifat Absolut atau Relatif?

Pertanyaan yang diajukan oleh Socrates tentang asal-usul etika juga memunculkan perdebatan yang lebih luas mengenai apakah moralitas bersifat absolut atau relatif. Jika moralitas berasal dari jiwa, seperti yang diyakini oleh Socrates, apakah ini berarti bahwa ada standar moral universal yang berlaku untuk semua manusia? Atau, apakah moralitas dipengaruhi oleh konteks budaya dan lingkungan, sehingga bersifat relatif?

Socrates meyakini bahwa ada standar moral yang bersifat universal dan dapat ditemukan melalui akal budi. Baginya, kebajikan dan kebenaran adalah sesuatu yang melekat pada alam semesta, dan tugas manusia adalah menemukannya melalui refleksi dan dialog.

Namun, banyak filsuf setelah Socrates, termasuk kaum Sofis pada masanya, berpendapat bahwa moralitas lebih dipengaruhi oleh norma-norma sosial dan lingkungan. Mereka percaya bahwa apa yang dianggap benar atau salah dapat berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, tergantung pada konteks budaya dan sejarah.

Pandangan relativistik ini terus menjadi bahan perdebatan di kalangan filsuf hingga saat ini. Namun, warisan Socrates yang menekankan pencarian kebenaran melalui pengenalan diri tetap menjadi pilar penting dalam diskusi tentang etika dan moralitas.

Pengaruh Pemikiran Socrates Terhadap Filsafat Moral Modern

Meskipun gagasan Socrates tentang moralitas telah diperdebatkan selama berabad-abad, pemikirannya tetap relevan dalam filsafat moral modern. Konsepnya tentang pencarian kebenaran melalui dialog dan refleksi diri telah mempengaruhi berbagai aliran filsafat, termasuk eksistensialisme dan etika deontologis.

Selain itu, ide bahwa kebajikan adalah pengetahuan dan bahwa kejahatan berasal dari ketidaktahuan telah menjadi landasan bagi banyak teori moral modern yang menekankan pentingnya pendidikan dan pengembangan moral dalam membentuk perilaku etis individu.

Namun, tantangan yang diajukan oleh Socrates tentang apakah moralitas berasal dari jiwa atau lingkungan tetap menjadi perdebatan yang belum terselesaikan. Dalam dunia yang terus berubah ini, pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usul etika dan moralitas masih terus diperiksa oleh filsuf dan pemikir kontemporer.

Socrates, melalui ajarannya yang mendalam tentang moralitas, telah meletakkan dasar bagi pemahaman kita tentang etika dan kebajikan. Meskipun ia percaya bahwa moralitas berasal dari jiwa, dia juga menyadari pengaruh lingkungan dalam membentuk perilaku manusia. Pemikirannya yang abadi tentang moralitas, kebenaran, dan kebajikan terus menginspirasi diskusi filosofis di seluruh dunia.

Pencarian Socrates terhadap kebenaran moral, melalui introspeksi dan refleksi diri, tetap menjadi prinsip yang relevan hingga saat ini. Dalam dunia yang semakin kompleks, ajaran Socrates mengingatkan kita bahwa pencarian etika sejati memerlukan pengenalan diri dan pemahaman mendalam tentang jiwa manusia.