UGM: Sangat Menginspirasi, Ini Kisah Anak Penjual Telur Keliling, Bisa Lolos Kuliah di UGM

Universitas Gadjah Mada (UGM)
Sumber :
  • ugm.ac.id

Yogyakarta, WISATA – Banyak jalan agar bisa meraih mimpi.

Masalah ekonomi, bukanlah halangan bagi siapapun untuk menggapai cita-cita, termasuk mimpi mengenyam kuliah di bangku universitas ternama di Indonesia.

Hal itulah, yang dialami I Wayan Sudiatmaja berusia 18 tahun.

Wayan berhasil meraih menggapai salah satu keinginannya untuk berkuliah di kampus UGM.

Anak pertama dari dua bersaudara pasangan I Nengah Raul Adyana dan Ni Luh Sulastini ini, diterima kuliah di prodi Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada melalui jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP).

Saat mendaftar dan registrasi, Wayan mengajukan untuk mendapatkan beasiswa KIP Kuliah.

Namanya pun kini terdaftar sebagai calon mahasiswa penerima KIP Kuliah.

Bahkan saat registrasi, ia mendapat subsidi UKT sebesar 75 persen.

Ancaman Kehilangan Aset Berharga: PSSI Hadapi Aktivitas Transfer Manchester City

Wayan, Anak Penjual Telur Keliling Lolos Kuliah di UGM

Photo :
  • ugm.ac.id
Keluarga Wayan Sudiatmaja mengontrak di rumah bedeng ukuran 5×7 meter persegi dengan dinding berdempetan dengan penghuni kontrakan lain.

Lokasi rumahnya berada di salah satu gang sempit, hanya berjarak kurang dari 10 meter dari jalan raya Candidasa, Karangasem, Bali.

Sehari-hari, sang ayah menjadi pedagang telur keliling di pasar hingga warung-warung kelontong dan restoran di sepanjang jalan di Karangasem.

Telur dagangnya diambil dari pemilik kandang ayam petelur yang berada 3 kilometer dari rumahnya.

Dalam seminggu, ia bisa mengambil telur dari kandang sebanyak 25 karpet.

Telur-telur tersebut, kemudian dibawa ke rumahnya untuk dibersihkan dan disusun rapi kembali di wadah karpet.

Jika laku, dari setiap karpet telur, ia mendapat untung sebesar Rp3.000

“Kalau dihitung bersih, rata-rata dapat 1,5 juta rupiah sampai 1,8 juta,” katanya.

Menjadi penjual telur keliling, kata Nengah, berangkat dari masukan anak bungsunya yang meminta untuk menjadi pedagang, setelah mencoba beberapa kali ganti pekerjaan dari jadi buruh perajin bambu, tenaga security, hingga kuli bangunan.

Saat pertama berjualan telur, Nengah mengaku ia dan istrinya mencoba berjualan telur ayam di pinggir jalan dengan mengambil beberapa karpet telur.

“Waktu itu ada bule lewat, beli lima tapi dia bayar Rp 50 ribu. Saya jadi semangat untuk berjualan,” kenangnya.

Saat diawal berjualan telur, ia harus membeli seluruh telur kepada pemilik kandang agar bisa dijual.

Karena belum punya modal yang cukup, ia hanya membeli beberapa karpet telur saja untuk dijual.

Setelah tiga bulan berjualan, ia pernah membawa sekitar 20 karpet, namun tiba-tiba motornya jatuh dan 10 karpet telur rusak dan separuh telur pecah, sehingga tidak bisa dijual.

Nengah mengaku sedih dan sempat menyampaikan keinginan kepada istrinya untuk berhenti berjualan lagi.

“Saya sempat bilang mau berhenti. Istri kasih semangat, karena tidak ada kerjaan lain,” ujarnya.

Namun setelah 2-3 tahun bermitra, kini Nengah bisa mengambil telur hingga 15 – 25 karpet sekaligus dengan memberi uang muka sebesar separuh dari seluruh jumlah karpet telur yang diambil.

Gedung Pusat UGM

Photo :
  • ugm.ac.id
Sisanya, baru dibayar setelah seluruh telur terjual habis.

“Jika ada yang pecah, kita bawa pulang digoreng,” katanya.

Nengah mengaku bersyukur, dengan berjualan telur bisa menghidupi keluarganya.

Selain dari penghasilan dari berjualan telur, keluarga ini juga mengandalkan dari pekerjaan sang ibu yang menjadi perajin tenun kain gringsing.

Satu kain bisa dikerjakan selama 1 hingga 1,5 bulan, tergantung dari ukuran kain yang dipesan.

“Untuk satu kain, saya dapat 600 ribu rupiah,” kata Ni Luh.

Penghasilan dari berjualan telur dan menjadi perajin tenun, bagi Ni Luh sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari dan membayar kontrakan.

Karena itu, tidak terbesit dibenaknya untuk menguliahkan Wayan ke universitas.

Yang terpikirkan olehnya adalah, besarnya biaya yang harus mereka keluarkan nantinya.

Sementara dari penghasilan keduanya, tidak mencukupi.

“Wayan sempat ngomong mau kuliah. Sempat pula saya larang karena terbentur biaya. Dia bilang maunya nyoba lewat jalur KIP-K. Saya bilang, ya coba saja dulu,” katanya.

Ni Luh menuturkan, tidak hanya ingin kuliah namun juga menyampaikan keinginan melanjutkan kuliah ke UGM.

“Saya sempat tanya UGM itu dimana? Dia jelasin. Lalu saya tanya biaya kosmu bagaimana?” kenangnya.

Meski berat untuk melepaskan anak mendaftarkan kuliah di Jawa, namun Ni Luh mengaku dirinya luluh, saat melihat kegigihan anak sulungnya tersebut.

Yang bisa ia lakukan, adalah dengan berdoa di setiap waktu sembahyang.

Bahkan Ni Luh sempat bernazar, jika Wayan lulus, ia akan membawa sesaji pejati dalam tradisi Hindu untuk dibawa ke pura.

“Karena sudah janji saya. Itu pun saya laksanakan pas hari odalan, kurang lebih satu bulan saat sembahyang setelah Wayan dapat pengumuman (kuliah) di UGM. Saya sendiri ke sana (Pura), bapak tidak tahu. Saya bawa ayam, pisang, jajan, buah-buahan. Saya antar ke pura,” katanya.

Wayan sendiri mengaku tidak mudah untuk membujuk kedua orang tuanya untuk merestui dirinya bisa mendaftar kuliah di UGM.

Dia pun menjanjikan untuk mendaftar beasiswa KIP-K agar tidak membebani kedua orang tuanya.

Wayan pun mafhum, bahwa penghasilan orang tuanya sebagai pedagang telur keliling dan perajin tenun tentu akan kesulitan membiayai kuliahnya kelak.

Beruntung, Wayan menjadi salah satu calon penerima beasiswa KIP-K untuk calon mahasiswa baru tahun 2024 ini.
Prakiraan Cuaca Kota Makassar Sulawesi Selatan, Tanggal 4 Juli 2024

UGM Terima 2.826 Calon Mahasiswa Baru Lewat Jalur SNBT

Photo :
  • ugm.ac.id
Wayan masih ingat, saat hari pengumuman SNBP, ia sempat menyembunyikan berita gembira tersebut untuk disampaikan kepada kedua orang tuanya.

Baru keesokan harinya, dirinya memberanikan diri menyampaikan hal itu saat menunggu Ibunya selesai memasak di dapur dan ayah baru bersantai di teras setelah membersihkan telur-telur dagangannya.

Wayan mengajak kedua orang tuanya duduk diatas dipan di ruang tengah.

“Saya lolos Pak,” ujar Wayan.

“Di mana lolos?” kata Ayah.

“Dapat di UGM,” imbuh Wayan.

“Ya, syukurlah,” ungkap sang Ayah.

Saat itu, Ni Luh pun terdiam agak lama.

Wayan menduga, ibunya kepikiran soal biaya.

“Mungkin dalam hati, beliau senang juga. Saya bilang, mumpung lagi registrasi saya, saya pakai yang KIP-K,” kata Wayan meyakinkan.

Menurut Wayan, sejak sekolah, kedua orang tua selalu mendidiknya dengan baik dan selalu berperilaku hidup sederhana.

Setiap berangkat sekolah, ia selalu membawa bekal untuk makan siang dan minum selama di sekolah.

Selain berprestasi di bidang akademik, Wayan sudah tertarik dengan olahraga bela diri pencak silat yang sudah ditekuninya sejak di bangku SMP.

Ia pun suka mengikuti kejuaraan pencak silat kejuaraan antarpelajar se-provinsi Bali.

Ia pun sering langganan juara.

“Terakhir kita dapat juara satu untuk Bali Open Competition tingkat nasional untuk kategori seni beregu,” katanya.

Selain aktif di kegiatan non akademis, Wayan juga memiliki nilai akademik yang bagus, terutama untuk mata pelajaran di bidang non eksakta.

Diterima kuliah di prodi Ilmu Komunikasi, Wayan mengaku ingin aktif di kegiatan organisasi dan kemahasiswaan.

“Kalau kuliah nanti saya akan coba ikut organisasi. Saya ingin cari pengalaman baru, pengetahuan baru, mencoba cara peluang ikut organisasi dan perlombaan,” harapnya.

Nengah dan Ni Luh menyampaikan harapan, agar Wayan bisa menjalani kuliahnya dengan baik, bisa lulus meraih gelar sarjana sehingga bisa membawa nama baik keluarga.

“Secara pribadi, kita ingin Wayan bisa membawa nama keluarga, punya masa depan. Yang pasti, kita sudah tua ini bingung cari kerja. Semoga apa yang menjadi cita-citanya Wayan, bisa terwujud. Semangatnya sungguh luar biasa,” pungkasnya.

(Sumber: ugm.ac.id)