Keadilan dalam Perspektif Para Filsuf Pra-Socratic, Konsepsi Democritus Sangat Menarik
- Image Creator/Handoko
Malang, WISATA - Keadilan merupakan konsep yang telah menjadi pusat perhatian manusia sejak zaman dahulu kala. Sebelum munculnya filsuf terkenal seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, para filsuf pra-Socratic sudah mulai mengemukakan pandangan mereka mengenai keadilan. Meskipun filsuf pra-Socratic lebih dikenal dengan kontribusi mereka dalam ilmu alam dan metafisika, mereka juga memiliki pandangan menarik mengenai konsep keadilan yang layak untuk dieksplorasi lebih lanjut. Artikel ini akan mengulas konsepsi keadilan dalam perspektif beberapa filsuf pra-Socratic yang terkenal.
Thales dari Miletus
Thales dari Miletus (624-546 SM) sering dianggap sebagai filsuf pertama dalam tradisi Barat. Meskipun Thales lebih dikenal sebagai matematikawan dan ahli ilmu alam, pandangannya tentang keadilan mencerminkan keyakinannya pada keseimbangan dan harmoni. Thales meyakini bahwa segala sesuatu berasal dari air dan bahwa air adalah prinsip dasar yang mengatur alam semesta. Dalam konteks keadilan, pandangan ini menunjukkan pentingnya keseimbangan dan harmoni dalam masyarakat, di mana keadilan dapat dicapai melalui keseimbangan antara hak dan kewajiban setiap individu.
Anaximander (610-546 SM), murid Thales, memperkenalkan konsep "apeiron" atau yang tak terbatas sebagai prinsip dasar alam semesta. Anaximander berpendapat bahwa ketidakadilan terjadi ketika sesuatu melampaui batasnya dan merusak keseimbangan alam. Konsepsi ini bisa diterapkan pada masyarakat, di mana keadilan adalah keadaan di mana setiap elemen masyarakat berfungsi sesuai dengan batasan dan perannya. Dalam pandangan Anaximander, keadilan adalah harmoni yang tercipta ketika setiap individu dan kelompok tidak melampaui batas-batas mereka.
Heraclitus dari Ephesus (535-475 SM) terkenal dengan pandangannya bahwa segala sesuatu berada dalam keadaan perubahan terus-menerus, yang ia sebut "panta rhei" atau "semua mengalir." Menurut Heraclitus, keadilan adalah keseimbangan dinamis yang terjadi melalui konflik dan perubahan. Ia meyakini bahwa ketidakadilan adalah penyimpangan dari keharmonisan alam yang terus-menerus berusaha kembali ke keseimbangan. Heraclitus juga memperkenalkan konsep "logos," atau akal universal, yang mengatur segala sesuatu dalam alam semesta, termasuk prinsip-prinsip keadilan.
Pythagoras (570-495 SM) adalah seorang filsuf dan matematikawan yang mendirikan sekolah pemikiran yang dikenal sebagai Pythagoreanisme. Dalam pandangan Pythagoras, keadilan adalah harmoni matematika dan proporsi. Ia percaya bahwa prinsip-prinsip matematika, seperti kesetimbangan dan simetri, dapat diterapkan pada masyarakat untuk mencapai keadilan. Pythagoras juga mengajarkan bahwa keadilan adalah hasil dari kehidupan yang dijalani sesuai dengan aturan moral dan etika, yang dapat diukur dan dipahami melalui matematika.
Empedocles (490-430 SM) memperkenalkan teori empat unsur dasar: tanah, air, udara, dan api. Menurut Empedocles, keadilan adalah hasil dari keseimbangan antara keempat unsur tersebut. Ia juga memperkenalkan konsep dua kekuatan kosmik, cinta (philia) dan pertentangan (neikos), yang berinteraksi untuk menciptakan keseimbangan dan harmoni. Dalam konteks sosial, keadilan dapat dilihat sebagai keseimbangan antara kekuatan yang berbeda dalam masyarakat, di mana cinta dan persatuan mengatasi pertentangan dan perpecahan.
Anaxagoras (500-428 SM) mengajukan gagasan bahwa segala sesuatu terdiri dari partikel-partikel kecil yang disebut "nous" atau pikiran. Ia percaya bahwa keadilan adalah hasil dari keteraturan dan keterarahan pikiran. Menurut Anaxagoras, keadilan dapat dicapai ketika setiap individu menggunakan pikiran dan rasionalitas mereka untuk berkontribusi pada kesejahteraan umum. Dengan demikian, keadilan adalah keadaan di mana setiap individu bertindak sesuai dengan akal dan moralitas, menciptakan masyarakat yang tertib dan harmonis.
Democritus (460-370 SM), yang dikenal sebagai bapak atomisme, meyakini bahwa segala sesuatu terdiri dari atom-atom yang tidak dapat dibagi. Ia menganggap bahwa keadilan adalah hasil dari keseimbangan atom-atom dalam masyarakat. Democritus menekankan pentingnya kebahagiaan dan kesejahteraan individu sebagai dasar dari keadilan. Menurutnya, keadilan adalah keadaan di mana setiap individu memiliki kesempatan untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan melalui kebebasan dan tanggung jawab.
Pandangan para filsuf pra-Socratic mengenai keadilan sangat dipengaruhi oleh pemikiran mereka tentang alam dan prinsip-prinsip dasar yang mengatur alam semesta. Meskipun mereka lebih dikenal karena kontribusi mereka dalam ilmu alam dan metafisika, konsep-konsep mereka tentang keadilan mencerminkan keyakinan pada keseimbangan, harmoni, dan keteraturan. Dalam konteks modern, pandangan ini tetap relevan, karena mengajarkan pentingnya keseimbangan antara hak dan kewajiban, penggunaan akal dan rasionalitas, serta pencapaian kesejahteraan individu dan masyarakat.