Saat Filsafat Timur dan Barat Bertemu: Refleksi Madilog untuk Dunia yang Terhubung
- Cuplikan layar
Sebaliknya, filsafat Barat—sejak zaman Yunani hingga pencerahan Eropa—lebih menekankan rasionalitas, pengamatan, eksperimen, dan analisis logis. Ia mendorong pertanyaan kritis dan pembuktian sistematis.
Keduanya sama-sama kaya. Tapi bagi Tan Malaka, filsafat Timur kala itu cenderung membungkus rakyat dalam “kabut mistika”, sementara Barat membawa obor logika yang bisa menerangi jalan berpikir yang lebih jernih dan bebas.
Madilog: Usaha Menyatukan Keduanya
Dalam Madilog, Tan Malaka tidak semata-mata menolak pemikiran Timur. Ia justru ingin mengajak masyarakat Indonesia—yang akarnya dalam budaya Timur—untuk meminjam alat berpikir Barat (logika dan dialektika) agar bisa keluar dari kebodohan struktural yang diwariskan kolonialisme.
Tapi ia juga mengakui bahwa pemikiran rasional saja tidak cukup. Dalam praktiknya, Tan Malaka menyimpan banyak "jembatan keledai" dalam pikirannya—kode-kode untuk menyimpan pemahaman, mirip dengan metode ingatan Timur yang penuh simbol.
Artinya, tanpa disadari, Madilog sendiri adalah pertemuan antara keduanya—sebuah filsafat lokal yang lahir dari Timur, tapi memakai alat-alat Barat untuk membebaskan diri.