Kisah Para Sufi: Sahl at-Tustari, Sufi Cilik yang Mengajarkan Zikir Sejak Usia Tiga Tahun

Perjalanan Sufi
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Jakarta, WISATA — Di antara deretan nama besar para sufi dalam sejarah Islam, Sahl at-Tustari menjadi sosok yang unik dan penuh inspirasi. Ia bukan hanya dikenal sebagai seorang ahli tasawuf, tetapi juga sebagai anak ajaib yang telah mengamalkan zikir sejak usia tiga tahun. Namanya harum sebagai simbol kedalaman spiritual sejak dini, pengamal keheningan batin yang lembut namun penuh makna.

Kisah Para Sufi: Umar Ibn al-Farid, Penyair Sufi yang Mengukir Makna dalam Setiap Syair Cintanya

Lahir pada abad ke-9 M di kota Tustar (sekarang bagian dari Khuzestan, Iran), Sahl tumbuh dalam lingkungan keluarga religius. Tetapi sejak kecil, ia menunjukkan kecenderungan spiritual yang luar biasa. Ia tidak seperti anak-anak lainnya yang sibuk bermain atau menangis mencari perhatian. Justru sebaliknya, Sahl kecil sudah mencari jalan menuju Tuhan—melalui zikir dan kontemplasi batin.

Zikir di Usia Tiga Tahun

Kisah Para Sufi: Hujjatul Islam, Ketika Al-Ghazali Membuktikan Ruh Lebih Dalam dari Logika

Sebuah kisah masyhur menyebutkan bahwa ketika baru berusia tiga tahun, Sahl sudah diajarkan oleh pamannya sebuah kalimat zikir sederhana namun dalam maknanya:
"Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku."

Kalimat itu bukan hanya ia hafal, tetapi ia renungi dan ia rasakan secara batin. Ia menjadikannya semacam kompas hidup yang selalu menuntunnya dalam setiap gerak dan diam.

Abu Hamid Al-Ghazali: Penempuh Jalan Gelap yang Menemukan Cahaya Tasawuf

Zikir tersebut tidak hanya menjadi doa pengantar tidur, tapi juga kesadaran hidup yang terus menemaninya hingga dewasa. “Aku selalu merasa dalam pengawasan Allah,” begitu kira-kira kesaksian batin Sahl yang kelak menjadi prinsip utama dalam kehidupan tasawufnya.

Jalan Kesederhanaan dan Kesunyian

Sahl at-Tustari dikenal sebagai pribadi yang lembut, tenang, dan sederhana. Ia tidak suka keramaian, lebih senang menyendiri dan beribadah dalam keheningan. Tetapi bukan berarti ia tidak peduli terhadap sesama. Justru dari keheningan itulah ia menemukan kekuatan untuk menyampaikan hikmah-hikmah kehidupan yang sampai kini masih dikaji para murid tarekat dan pecinta ilmu spiritual.

Ia kerap berpuasa selama bertahun-tahun dan hanya makan dalam jumlah yang sangat sedikit. Menurutnya, lapar membantu menundukkan hawa nafsu dan menguatkan hubungan dengan Tuhan. Namun, ia juga tidak ekstrem atau menyiksa diri. Sahl memahami bahwa tubuh adalah amanah, dan semua harus dijalani dengan keseimbangan dan niat yang lurus.

Guru Jiwa yang Menyentuh Banyak Hati

Sahl tidak membangun madrasah besar atau menyebarkan ajarannya dengan megafon. Ia memilih jalan pengaruh batin dan keteladanan. Banyak orang datang kepadanya bukan karena ia mengiklankan keilmuannya, tetapi karena aura ketenangan dan keikhlasan yang terpancar dari dirinya.

Ia sering mengatakan, “Ilmu itu bukan dengan banyak bicara, tetapi dengan hati yang bersih.” Maka tak heran jika para pencari jalan Tuhan datang dari berbagai kota untuk berguru padanya. Ia mengajarkan zikir sebagai jalan pembersih hati, bukan sekadar rangkaian kata yang diulang-ulang, tetapi sebagai kesadaran penuh akan kehadiran Ilahi dalam setiap momen hidup.

Salah satu murid terkenalnya adalah Abu Bakr al-Warraq, yang kemudian juga menjadi sufi besar. Melalui murid-murid inilah ajaran Sahl tersebar, meskipun ia sendiri jarang menulis secara langsung.

Kesalehan yang Mengakar Sejak Kecil

Sahl adalah bukti nyata bahwa kedekatan dengan Tuhan tidak mengenal usia. Bahkan di zaman sekarang, di mana banyak orang tua ragu mengajarkan nilai-nilai spiritual pada anak-anak mereka karena dianggap terlalu dini, kisah hidup Sahl menjadi pengingat bahwa jiwa yang murni dan jujur justru lebih mudah merasakan kehadiran Tuhan.

Sahl juga mengajarkan pentingnya kesadaran batin (muraqabah)—yaitu merasa diawasi oleh Tuhan setiap saat. Ia mengatakan bahwa siapa pun yang menyadari bahwa Allah selalu melihatnya, maka ia tidak akan pernah berbuat zalim, bahkan terhadap dirinya sendiri.

Warisan untuk Generasi Masa Kini

Di tengah dunia modern yang bising dan penuh distraksi, kisah Sahl at-Tustari menjadi seperti oase ketenangan. Ia tidak mengajarkan kerumitan, tidak mendorong umat untuk mengejar popularitas atau kekuasaan spiritual. Ia hanya mengingatkan bahwa kesadaran terhadap kehadiran Allah adalah kunci bagi hidup yang jujur dan damai.

Ajarannya sederhana, tetapi jika diterapkan, mampu mengubah cara pandang kita terhadap dunia. Bahwa hidup bukan semata tentang mengejar, tetapi tentang menyadari—menyadari bahwa ada yang Maha Melihat, Maha Mendengar, dan Maha Menyertai setiap langkah kita.

Dalam dunia yang sibuk, Sahl mengajarkan bahwa diam pun bisa menjadi bentuk doa, dan bahwa zikir bukan hanya untuk bibir, tapi harus meresap dalam hati dan laku hidup.

"Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku." — Sahl at-Tustari