Syekh Abdul Qadir al-Jailani: “Kekayaan yang sejati bukanlah banyaknya harta, tetapi hati yang merasa cukup.”
- Image Creator Bing/Handoko
Jakarta, WISATA – Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan penuh ambisi, masyarakat sering kali terjebak dalam pemahaman keliru tentang kekayaan. Banyak orang mengejar harta, jabatan, dan popularitas sebagai tolok ukur keberhasilan. Namun, seorang tokoh sufi besar dunia Islam, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, mengingatkan kita akan makna kekayaan yang lebih hakiki melalui nasihatnya yang penuh makna: “Kekayaan yang sejati bukanlah banyaknya harta, tetapi hati yang merasa cukup.”
Nasihat ini tak hanya bersifat spiritual, tetapi juga memiliki relevansi sosial dan psikologis yang mendalam di era sekarang. Dalam artikel ini, kita akan mengulas makna di balik pesan tersebut, serta bagaimana kita bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan sejati.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani: Ulama, Sufi, dan Penuntun Jiwa
Syekh Abdul Qadir al-Jailani lahir di Gilan, Persia (kini Iran) pada tahun 1077 M. Ia dikenal luas sebagai pendiri Tarekat Qadiriyah, sebuah tarekat besar dalam dunia tasawuf yang menjunjung tinggi nilai-nilai keikhlasan, pelayanan terhadap sesama, dan pengendalian nafsu.
Ajaran beliau menyentuh berbagai aspek kehidupan, dari ibadah hingga sosial kemasyarakatan. Salah satu fokus utamanya adalah mengarahkan umat agar tidak terjebak dalam cinta dunia yang berlebihan, serta mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tidak tergantung pada materi.
Kekayaan Bukan Soal Harta, Tetapi Hati
Pernyataan beliau bahwa kekayaan sejati adalah hati yang merasa cukup, seolah menampar keras realitas masyarakat modern yang semakin konsumtif. Kita hidup di zaman di mana iklan dan media sosial membentuk standar kebahagiaan yang semu: rumah mewah, mobil mahal, liburan ke luar negeri, dan sebagainya.
Namun, berapa banyak dari mereka yang memiliki semua itu tapi tetap merasa gelisah, takut kehilangan, atau merasa tidak cukup? Di sinilah letak pentingnya makna “qana’ah” — yaitu sikap menerima dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, yang menjadi inti dari pesan Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Ilmu Psikologi Mendukung Ajaran Ini
Menariknya, ajaran ini ternyata sejalan dengan pandangan psikologi modern. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki rasa syukur (gratitude) dan puas dengan hidupnya (life satisfaction) memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi, meski penghasilan mereka tidak besar.
Sebuah studi oleh Dr. Robert Emmons dari University of California, misalnya, menemukan bahwa orang yang rajin menulis hal-hal yang mereka syukuri setiap hari mengalami penurunan stres, tidur lebih nyenyak, dan memiliki pandangan hidup yang lebih positif.
Artinya, kunci kebahagiaan bukan pada jumlah harta, tetapi pada cara kita memaknai dan mensyukuri apa yang kita punya. Inilah hakikat dari “kaya hati.”
Kehidupan Sederhana yang Mulia
Banyak tokoh besar sepanjang sejarah, dari Nabi Muhammad SAW hingga para ulama sufi seperti Syekh Abdul Qadir al-Jailani, memilih menjalani kehidupan yang sederhana. Mereka tidak tergoda untuk mengumpulkan harta atau mengejar status duniawi.
Syekh Abdul Qadir, meskipun dikenal sebagai ulama besar yang dihormati oleh raja dan bangsawan, tetap hidup bersahaja. Beliau lebih memilih membagikan ilmu dan hartanya untuk kaum miskin daripada menumpuk kekayaan pribadi. Ini menjadi bukti nyata bahwa hati yang merasa cukup justru membuat seseorang lebih dermawan, lebih damai, dan lebih disukai oleh sesama.
Dampak Sosial dari Hati yang Cukup
Ketika seseorang merasa cukup, ia akan terhindar dari sikap iri, tamak, dan rakus. Ia tidak sibuk membandingkan dirinya dengan orang lain, karena ia sadar bahwa setiap orang punya jalan hidup yang berbeda.
Dalam skala masyarakat, rasa cukup dapat menciptakan kedamaian sosial. Jika setiap individu tidak tamak dan tidak saling bersaing secara destruktif, maka ruang untuk kolaborasi, gotong royong, dan kepedulian sosial akan terbuka lebar. Inilah kunci harmoni sosial yang sering kali dilupakan.
Menanamkan Nilai Ini Sejak Dini
Untuk menciptakan generasi yang tidak terobsesi pada materi, nilai qana’ah atau hati yang merasa cukup harus ditanamkan sejak dini, baik di keluarga maupun di sekolah. Anak-anak harus diajarkan bahwa nilai diri mereka bukan diukur dari pakaian bermerek atau gadget terbaru, melainkan dari akhlak, ilmu, dan kontribusi mereka kepada sesama.
Keluarga sebagai lingkungan pertama harus menjadi contoh nyata dari hidup sederhana namun bahagia. Orang tua yang gemar bersyukur dan tidak hidup bermewah-mewahan akan menjadi teladan kuat bagi anak-anak mereka.
Tips Menumbuhkan Hati yang Merasa Cukup
Berikut beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan untuk melatih hati agar merasa cukup:
1. Bersyukur Setiap Hari
Luangkan waktu setiap hari untuk mencatat atau merenungi hal-hal yang patut disyukuri.
2. Hindari Membandingkan Diri di Media Sosial
Ingat bahwa yang ditampilkan di media sosial hanyalah potongan terbaik dari kehidupan orang lain.
3. Fokus pada Kebutuhan, Bukan Keinginan
Bedakan antara kebutuhan dasar dan keinginan konsumtif yang tak ada habisnya.
4. Berbuat Baik Kepada Sesama
Memberi kepada yang membutuhkan membuat kita merasa cukup dan bermanfaat.
5. Perkuat Iman dan Ketakwaan
Hubungan yang dekat dengan Tuhan akan membuat hati lebih tenang dan lapang.
Penutup: Kembali pada Makna Sejati Kekayaan
Pesan Syekh Abdul Qadir al-Jailani sangat relevan di zaman modern ini. Ketika dunia terus menuntut lebih banyak dari kita — lebih sukses, lebih kaya, lebih terkenal — beliau justru mengajak kita untuk berbalik arah: melihat ke dalam diri dan menemukan kekayaan yang tak terlihat mata — hati yang merasa cukup.
Karena pada akhirnya, bukan berapa banyak yang kita miliki yang menentukan kebahagiaan kita, tetapi bagaimana kita bersikap terhadap apa yang sudah kita miliki. Itulah kekayaan sejati yang tidak akan lekang oleh waktu, tidak bisa dicuri, dan tidak bisa dibeli — hanya bisa dirasakan oleh mereka yang memiliki kedamaian hati.