Tiga Tokoh Sofis Era Yunani Beserta Konsepsi Ajarannya

Tokoh Kaum Sofis Protagoras, Gorgias, dan Hippias
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Jakarta, WISATA - Kaum Sofis adalah kelompok filsuf dan guru yang berkembang pada abad ke-5 SM di Yunani. Mereka dikenal sebagai ahli retorika dan debat yang mengajarkan seni berbicara serta meyakinkan audiens dalam berbagai bidang, terutama dalam politik dan hukum. Meskipun sering dikritik oleh filsuf seperti Socrates, kaum Sofis memberikan kontribusi penting dalam perkembangan pemikiran kritis dan pendidikan di dunia Barat. Artikel ini akan membahas tiga tokoh utama Sofis beserta konsepsi ajaran mereka, yang masih relevan hingga era modern.

Friedrich Nietzsche: "Hidup adalah tarian antara keberanian dan kerapuhan."

1. Protagoras (490–420 SM): Relativisme Kebenaran

Biografi Singkat

Friedrich Nietzsche: "Tidak ada pengekangan yang lebih menyakitkan daripada ketidakmampuan untuk berpikir sendiri."

Protagoras adalah salah satu Sofis paling terkenal yang berasal dari Abdera, Thrace. Ia adalah seorang pengembara intelektual yang sering diundang oleh para bangsawan Athena untuk mengajar seni persuasi dan retorika.

Konsepsi Ajaran

Menyelami Filsafat René Descartes: Dari Keraguan Menuju Kepastian

Protagoras dikenal sebagai filsuf yang memperkenalkan relativisme dalam memahami kebenaran. Pandangannya yang paling terkenal adalah:

"Manusia adalah ukuran segala sesuatu."

Pernyataan ini menegaskan bahwa kebenaran bersifat subjektif dan bergantung pada sudut pandang individu. Dengan kata lain, apa yang benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain, karena setiap individu memiliki persepsi dan pengalaman yang berbeda.

Implikasi dari ajaran ini:

  • Tidak ada standar kebenaran universal yang berlaku untuk semua orang.
  • Argumen dapat berubah tergantung pada konteks dan kepentingan individu atau kelompok tertentu.
  • Retorika dan persuasi menjadi alat utama dalam membentuk opini publik.

Pandangan Protagoras ini sangat berpengaruh dalam politik dan hukum, di mana keterampilan berbicara lebih menentukan hasil debat dibandingkan dengan pencarian kebenaran absolut.

Kritik terhadap Protagoras

Socrates dan Plato mengkritik relativisme Protagoras karena dianggap dapat mengarah pada nihilisme moral, di mana tidak ada standar objektif untuk membedakan antara yang benar dan yang salah. Jika kebenaran hanya bergantung pada individu, maka keadilan dan kebijakan publik bisa menjadi tidak stabil dan mudah dimanipulasi oleh mereka yang memiliki kekuasaan retoris lebih besar.

2. Gorgias (485–380 SM): Nihilisme dan Kekuatan Bahasa

Biografi Singkat

Gorgias berasal dari Leontini, Sisilia, dan merupakan salah satu Sofis pertama yang datang ke Athena untuk mengajarkan retorika. Ia dikenal sebagai orator ulung yang mampu meyakinkan audiens hanya dengan permainan kata-kata.

Konsepsi Ajaran

Gorgias terkenal dengan pandangannya yang radikal tentang keberadaan dan kebenaran. Ia mengajukan tiga premis utama dalam bukunya On Non-Existence:

1.     Tidak ada sesuatu pun yang benar-benar ada.

2.     Jika sesuatu ada, ia tidak bisa diketahui oleh manusia.

3.     Jika sesuatu bisa diketahui, ia tidak bisa dikomunikasikan kepada orang lain.

Ajaran ini menunjukkan bahwa realitas itu sendiri tidak dapat dipahami secara objektif. Dengan kata lain, apa yang kita anggap sebagai "kebenaran" hanyalah konstruksi bahasa yang tidak benar-benar mencerminkan realitas.

Implikasi dari ajaran ini:

  • Bahasa bukan alat untuk menemukan kebenaran, melainkan alat untuk mempengaruhi orang lain.
  • Fakta bisa didefinisikan ulang dan diputarbalikkan melalui retorika yang meyakinkan.
  • Manusia tidak bisa sepenuhnya memahami realitas, sehingga kebenaran bersifat subjektif dan bisa dibentuk sesuai dengan kepentingan individu.

Kritik terhadap Gorgias

Socrates dan Plato mengecam pandangan Gorgias karena dianggap berbahaya bagi moralitas dan etika. Jika tidak ada yang benar-benar nyata, maka semua bentuk kebohongan dan manipulasi bisa dibenarkan selama seseorang mampu meyakinkan audiensnya. Pemikiran Gorgias ini sering dianggap sebagai akar dari propaganda modern dan teknik komunikasi politik yang manipulatif.

3. Hippias (460–400 SM): Pengetahuan Universal dan Hukum Alam

Biografi Singkat

Hippias berasal dari Elis dan merupakan seorang Sofis yang menguasai banyak disiplin ilmu, termasuk matematika, astronomi, sejarah, dan seni. Berbeda dengan Protagoras dan Gorgias yang menekankan relativisme dan kekuatan retorika, Hippias lebih tertarik pada konsep pengetahuan universal dan hukum alam yang berlaku secara mutlak.

Konsepsi Ajaran

Hippias berpendapat bahwa terdapat hukum alam (nomos) yang bersifat lebih tinggi dibandingkan dengan hukum buatan manusia. Ia percaya bahwa kebijaksanaan dan pengetahuan yang luas dapat membuat seseorang lebih mandiri dan tidak bergantung pada otoritas politik atau sosial tertentu.

Ajaran utama Hippias:

  • Manusia harus mengembangkan berbagai keterampilan dan ilmu agar bisa hidup mandiri.
  • Ada aturan moral yang lebih tinggi dari hukum buatan manusia.
  • Kebijaksanaan sejati berasal dari pemahaman terhadap hukum alam, bukan dari retorika atau persuasi semata.

Hippias dikenal sebagai seorang polymath, yaitu orang yang menguasai berbagai bidang ilmu. Baginya, pengetahuan yang luas adalah kunci untuk mencapai kebebasan dan otonomi dalam berpikir.

Kritik terhadap Hippias

Meskipun pemikirannya lebih moderat dibandingkan dengan Protagoras dan Gorgias, Hippias tetap dikritik karena pendekatannya yang terlalu individualistik. Socrates berpendapat bahwa kebijaksanaan sejati bukan hanya soal menguasai banyak ilmu, tetapi juga soal memahami dan menjalani kehidupan yang berlandaskan kebajikan dan keadilan.

Relevansi Ajaran Kaum Sofis di Era Modern

Ajaran kaum Sofis masih memiliki dampak besar dalam dunia modern, terutama dalam bidang politik, hukum, media, dan komunikasi. Berikut beberapa contoh bagaimana pemikiran mereka masih digunakan hingga saat ini:

  • Relativisme Protagoras → Konsep ini terlihat dalam filsafat postmodernisme yang menolak adanya satu kebenaran mutlak dan menekankan pluralitas perspektif.
  • Retorika Gorgias → Digunakan dalam pemasaran, propaganda politik, dan teknik persuasi di media sosial, di mana fakta dapat dikonstruksi ulang untuk membentuk opini publik.
  • Multidisiplin Hippias → Relevan dalam dunia kerja modern yang menuntut seseorang memiliki berbagai keterampilan (multitasking) agar lebih kompetitif.

Namun, kritik yang diajukan oleh Socrates dan Plato tetap penting untuk diperhatikan agar kita tidak terjebak dalam manipulasi informasi dan tetap menjunjung tinggi standar moral serta pencarian kebenaran yang objektif.

Kesimpulan

Tiga tokoh utama kaum Sofis—Protagoras, Gorgias, dan Hippias—mewakili tiga pendekatan yang berbeda dalam memahami kebenaran dan pengetahuan.

1.     Protagoras menekankan bahwa kebenaran bersifat relatif dan tergantung pada persepsi individu.

2.     Gorgias berpendapat bahwa realitas dan kebenaran tidak dapat dipahami sepenuhnya, sehingga bahasa digunakan sebagai alat persuasi.

3.     Hippias percaya pada pentingnya pengetahuan universal dan hukum alam sebagai standar moral yang lebih tinggi dari hukum manusia.

Meskipun pemikiran mereka masih relevan hingga saat ini, kritik dari Socrates mengingatkan kita bahwa pencarian kebenaran tidak boleh sekadar tentang memenangkan debat atau mempengaruhi opini publik, tetapi juga harus berlandaskan pada moralitas dan kebijaksanaan sejati.

Seperti yang dikatakan Socrates:

"Kehidupan yang tidak diperiksa adalah kehidupan yang tidak layak dijalani."

Maka, dalam menghadapi arus informasi dan retorika yang ada di era modern, kita harus selalu menguji dan mencari kebenaran dengan kritis serta tidak mudah terpengaruh oleh manipulasi bahasa semata.