Ketidakpuasan Bangsawan Jawa: Konflik Internal yang Membakar Api Perlawanan
- Image Creator Grok/Handoko
Jakarta, WISATA - Artikel ini ditulis berdasarkan dokumen berjudul Gedenkschrift van den oorlog op Java, 1825-1830, yang merupakan terjemahan dari bahasa Prancis ke bahasa Belanda oleh Letnan Kolonel H. M. Lange. Buku ini adalah laporan mengenai Perang Jawa (1825-1830) yang ditulis oleh Jhr. F. V. A. Ridder de Stuers, seorang perwira militer Belanda yang berpartisipasi dalam konflik tersebut. Buku ini mengisahkan Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro melawan pemerintahan kolonial Belanda. Ini adalah artikel keempat dari tiga puluh artikel yang direncanakan akan dimuat secara berseri.
Konflik yang Membara di Kalangan Bangsawan Jawa
Perang Jawa (1825-1830) bukan hanya sekadar pertempuran antara Pangeran Diponegoro dan Belanda. Konflik ini juga dipicu oleh ketidakpuasan internal di kalangan bangsawan Jawa yang merasa hak-hak mereka dirampas oleh pemerintahan kolonial.
Belanda yang semakin kuat mulai mengendalikan sistem politik dan ekonomi Kesultanan Yogyakarta, memicu ketegangan antara para bangsawan yang merasa semakin kehilangan pengaruhnya. Di sisi lain, kesenjangan sosial antara elite keraton dan rakyat biasa semakin melebar, menciptakan ketidakstabilan yang pada akhirnya menyulut pemberontakan besar.
Lalu, bagaimana konflik internal ini berkontribusi terhadap pecahnya Perang Jawa?
1. Perebutan Kekuasaan di Kesultanan Yogyakarta
Sejak awal abad ke-19, Kesultanan Yogyakarta sudah berada dalam bayang-bayang kekuasaan Belanda. Setelah Sultan Hamengkubuwono III wafat pada tahun 1814, Belanda berperan besar dalam menentukan siapa yang akan menjadi raja selanjutnya.
Meskipun Pangeran Diponegoro adalah anak sulung, ia tidak dipilih sebagai pewaris tahta karena ibunya bukan seorang permaisuri. Sebagai gantinya, Belanda mengangkat adiknya, Hamengkubuwono IV, yang dianggap lebih mudah dikendalikan.