1830: Hari Penangkapan Diponegoro, Akhir dari Perlawanan Besar
- Wikipedia
Jakarta, WISATA - Artikel ini ditulis berdasarkan dokumen berjudul Gedenkschrift van den oorlog op Java, 1825-1830, yang merupakan terjemahan dari bahasa Prancis ke bahasa Belanda oleh Letnan Kolonel H. M. Lange. Buku ini adalah laporan mengenai Perang Jawa (1825-1830) yang ditulis oleh Jhr. F. V. A. Ridder de Stuers, seorang perwira militer Belanda yang berpartisipasi dalam konflik tersebut. Buku ini mengisahkan Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro melawan pemerintahan kolonial Belanda. Artikel ini merupakan artikel kedua puluh tiga dari tiga puluh artikel yang direncanakan akan dimuat secara berseri.
Perjalanan Panjang Menuju Titik Balik Sejarah
Pada tahun 1830, setelah hampir lima tahun pertempuran sengit yang melibatkan taktik gerilya, strategi militer yang inovatif, serta pengorbanan luar biasa dari seluruh lapisan masyarakat Jawa, sejarah mencatat satu momen yang akan mengubah wajah perlawanan melawan penjajahan: penangkapan Pangeran Diponegoro. Hari itu bukan hanya menjadi simbol berakhirnya perlawanan besar, tetapi juga menandai transisi penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan.
Perjuangan Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa telah mengguncang fondasi kekuasaan kolonial Belanda di Nusantara. Diponegoro, yang menjadi lambang perlawanan melawan penindasan, berhasil mengumpulkan dukungan dari rakyat, bangsawan, dan bahkan kalangan ulama. Namun, setelah bertahun-tahun mempertahankan posisi dan mengatur serangan gerilya yang efektif, tekanan militer dan tekanan psikologis serta konflik internal akhirnya mencapai titik jenuh. Pada tahun 1830, situasi tersebut berpuncak pada penangkapan Diponegoro—suatu peristiwa yang mengguncang baik pihak penjajah maupun rakyat yang telah mengidolakan sang pahlawan.
1. Latar Belakang Menuju Penangkapan
a. Tekanan Militer yang Semakin Meningkat
Selama lima tahun perang, Belanda terus mengerahkan strategi baru untuk menekan perlawanan. Dengan kedatangan Jenderal De Kock dan penerapan sistem benteng-benteng kecil, pergerakan pasukan gerilya Diponegoro mulai terhambat. Kemenangan di beberapa medan pertempuran seperti di Madiun dan Bagelen telah mengurangi keunggulan mobilitas pasukan pemberontak. Di tengah situasi tersebut, pasokan logistik pasukan perlawanan semakin menipis, dan serangan penyergapan Belanda semakin terkoordinasi.