Dialektika: Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun antara Kritik Filsafat Islam dan Warisan Socrates, Plato, serta Aristoteles
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA - Peradaban Islam pernah mencapai puncak kejayaan intelektual yang ditandai dengan semangat pencarian kebenaran melalui dialog antara akal dan wahyu. Dalam tradisi ini, muncul dua tokoh besar yang pemikirannya menyuguhkan kontras sekaligus harmoni, yaitu Abu Hamid Muhammad al-Ghazali dan Ibnu Khaldun. Meskipun keduanya hidup di era yang berbeda dan memiliki fokus keilmuan yang tidak sama—Al-Ghazali lebih menekankan aspek keimanan dan kritik terhadap filsafat murni, sedangkan Ibnu Khaldun dikenal karena kontribusinya di bidang sejarah dan sosiologi—keduanya sama-sama memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan dialektika keilmuwan dalam Islam. Artikel ini mengupas secara mendalam perjalanan intelektual kedua tokoh tersebut, mengaitkannya dengan warisan pemikiran para filsuf Yunani seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, serta menyoroti relevansi gagasan mereka untuk dunia modern.
Latar Belakang Sejarah dan Konteks Intelektual
Pada abad ke-8 hingga ke-12 M, dunia Islam mengalami masa keemasan di mana ilmu pengetahuan, filsafat, dan teologi berkembang pesat. Salah satu pendorong utama perkembangan tersebut adalah tradisi penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Karya-karya Aristoteles—dengan sistem logika, etika, dan metafisikanya—menjadi pijakan bagi para cendekiawan Muslim untuk mengembangkan pemikiran rasional. Di sinilah lahir tradisi dialektika keilmuwan, yakni cara berpikir yang menggabungkan analisis logis dengan dimensi wahyu dan spiritual.
Data dari Encyclopaedia Islam dan Encyclopaedia Britannica mencatat bahwa tradisi penerjemahan ini tidak hanya membawa pengetahuan baru ke dunia Islam, tetapi juga menginspirasi para pemikir untuk menyatukan metode penalaran yang ketat dengan nilai-nilai keimanan. Dialog antara akal dan wahyu inilah yang nantinya termanifestasi dalam karya-karya besar seperti Tahafut al-Falasifa oleh Al-Ghazali dan pemikiran kritis Ibnu Khaldun dalam karyanya yang monumental, Muqaddimah.
Al-Ghazali: Penegas Keimanan dan Kritik atas Rasionalisme
Kehidupan dan Karya Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, yang hidup pada abad ke-11 M, dikenal sebagai salah satu ulama, filsuf, dan sufi terkemuka dalam sejarah Islam. Lahir di provinsi Khurasan, Al-Ghazali menempuh pendidikan agama dan filsafat sejak dini. Karyanya yang paling terkenal, Ihya Ulumiddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), telah menginspirasi jutaan umat Islam melalui pengintegrasian nilai-nilai keimanan, etika, dan spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, karya yang paling kontroversial dan mengundang perdebatan adalah Tahafut al-Falasifa (Ketidakkonsistenan Para Filosof). Di sini, Al-Ghazali dengan tajam mengkritik para filsuf Muslim yang terlalu bergantung pada akal dan logika murni—terutama mereka yang banyak mengambil inspirasi dari pemikiran Aristoteles. Menurutnya, meskipun akal memiliki peran penting, keterbatasannya membuatnya tidak mampu menyentuh kebenaran yang bersifat transenden. Wahyu ilahi dan pencerahan spiritual, dalam pandangan Al-Ghazali, adalah sumber kebenaran yang sejati.
Kritik Al-Ghazali terhadap Filsafat Murni