Jepang, Indonesia, dan Plato: Jepang Pilih yang Terbaik, Indonesia Pilih yang Tersisa, Sebuah Satire

Jepang, Indonesia, dan Plato
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Malang, WISATA - Apakah Anda pernah mendengar sebuah cerita satire tentang perbincangan antara seorang warga Jepang dan warga Indonesia? Cerita ini begitu populer dan menyentil, mengajak kita berpikir tentang cara kita memilih pemimpin dan bagaimana politik dijalankan di negeri ini.

"The Ends Justify the Means": Pro dan Kontra Pemikiran yang Menggugah dari Machiavelli

Suatu hari, seorang warga Indonesia terkesima melihat kemajuan Jepang. Ia kagum bagaimana negara itu bisa begitu maju, rakyatnya makmur, dan hidup mereka teratur. Dalam kekagumannya, ia berasumsi bahwa warga Jepang pasti sangat pintar.

Namun, seorang warga Jepang menimpali dengan tenang, "Anda keliru kalau menganggap warga Jepang pintar-pintar. Sebenarnya, dari sepuluh orang, hanya satu yang pintar. Lalu kami angkat dia menjadi pemimpin, dan kami patuh padanya." Ia kemudian melanjutkan, "Beda dengan di Indonesia, dari sepuluh orang, sembilan merasa pintar. Sayangnya, yang diangkat menjadi pemimpin adalah yang paling bodoh."

Nasihat Bijak dari Socrates untuk Membungkam Kaum Sofis

Pernyataan itu bagai tamparan halus yang menyentil realitas politik kita. Di negeri ini, demokrasi sering kali diartikan sebagai ajang adu popularitas, bukan kompetisi kualitas. Pemimpin bukan dipilih karena kecerdasan dan integritasnya, tetapi karena faktor lain yang kadang sulit dinalar.

Plato, Politik, dan Ironi di Negeri Sendiri

"Lebih Baik Ditakuti Daripada Dicintai, Jika Anda Tidak Bisa Memiliki Keduanya" Machiavelli

Sindiran ini sejalan dengan pemikiran Plato, filsuf Yunani kuno yang sering mengkritik sistem demokrasi. Plato pernah berkata, "Bila orang-orang baik tidak mau terjun ke politik, maka siap-siaplah Anda dipimpin oleh orang buruk." Dan itulah yang sering terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Orang-orang yang sebenarnya memiliki kapasitas sering kali memilih untuk menjauhi politik. Mereka apatis, merasa politik itu kotor dan penuh intrik. Akibatnya, panggung politik justru dikuasai oleh mereka yang lebih lihai bermain opini, bukan mereka yang benar-benar memiliki visi.

Halaman Selanjutnya
img_title