Petani, Buruh Tani dan Dipaksa Keadaan Bertani: Nasib Tragis Petani Indonesia
- Gdm
Brebes, WISATA - Di balik deretan padi yang menguning, di balik wajah-wajah petani yang bekerja keras setiap hari, terdapat kisah tragis yang jarang terungkap. Di Indonesia, banyak petani dan buruh tani yang dipaksa keadaan untuk tetap bertahan di sektor pertanian meskipun kehidupan mereka semakin sulit. Mereka seolah terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan, berjuang keras untuk bertani namun hasilnya sering kali tidak sebanding dengan perjuangan mereka. Dari masalah ketidakpastian cuaca hingga rendahnya pendapatan yang diterima, nasib petani Indonesia semakin memprihatinkan.
Terpaksa Bertani Karena Keterbatasan Pilihan
Di sejumlah daerah, petani kecil atau yang biasa disebut petani gurem terpaksa menggarap lahan meskipun hasilnya jauh dari mencukupi. Seperti yang dialami oleh Cakim, seorang petani di Desa Gununglarang, Kecamatan Salem, Brebes, Jawa Tengah. Cakim menggarap lahan seluas 1.400 meter persegi untuk menanam padi, namun hasil yang diperoleh sering kali tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan. “Biaya untuk membeli pupuk saja sudah sangat tinggi. Jika dihitung, kadang hasil panen saya tidak menutupi biaya tanam,” ujar Cakim, yang mengaku bertani hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga.
Cakim adalah contoh nyata dari banyak petani di Indonesia yang terjebak dalam ketergantungan pada pertanian meskipun sektor ini tak lagi menguntungkan. Mereka tetap bertahan karena tak ada pilihan lain. Banyak dari mereka tidak memiliki akses yang memadai untuk beralih ke pekerjaan lain, baik karena keterbatasan keterampilan maupun karena kurangnya lapangan pekerjaan di daerah mereka. Sebagai hasilnya, meskipun sering kali merugi, mereka tetap bertani untuk menyambung hidup.
Untuk sekedar menyambung hidup dan biaya anak sekolah, Cakim mencari penghasilan tambahan dari usaha sadapan getah pinus. Lumayan ujarnya bisa mendapatkan penghasilan tanpa harus pergi ke kota. Sayangnya usaha itupun sekarang semakin terbatas, karena lahan hutan dan tanaman pinus terus berkurang sedangkan jumlah penduduk yang terus bertambah, sehingga harus bersaing berebut lahan dengan penderes yang lain. Beberapa teman dan sodaranya bahkan ada yang menjadi penderes sadapan pinus sampai ke luar Pulau seperti Sumatra dan Sulawesi.
Tantangan Berat yang Dihadapi Petani dan Buruh Tani
Sektor pertanian Indonesia menghadapi banyak tantangan serius yang memperburuk kehidupan petani dan buruh tani. Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah tingginya biaya produksi. Di tahun 2024, biaya produksi padi di Indonesia mencapai Rp5.667 per kilogram, sementara harga beli gabah yang ditetapkan pemerintah hanya Rp6.000 per kilogram. Dengan margin yang begitu tipis, para petani hanya mendapatkan keuntungan yang sangat kecil, bahkan sering kali merugi.
Selain itu, permasalahan lainnya adalah ketidakpastian cuaca yang mempengaruhi hasil panen. Bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan perubahan iklim membuat petani semakin sulit merencanakan musim tanam mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena perubahan iklim yang ekstrem menyebabkan banyak petani padi harus mengurangi frekuensi tanam mereka untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Hal ini, pada gilirannya, mengurangi produksi pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah mengenai impor beras juga memberikan dampak negatif bagi petani lokal. Pada tahun 2024, pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengimpor 3,6 juta ton beras meskipun hasil panen lokal sedang meningkat. Keputusan ini memicu kemarahan di kalangan petani, karena masuknya beras impor menurunkan harga gabah di pasar, sehingga semakin memperburuk pendapatan petani. Dalam situasi seperti ini, para petani merasa bahwa kebijakan pemerintah tidak berpihak pada mereka, padahal mereka sudah berusaha keras untuk menghasilkan pangan bagi bangsa.
Buruh Tani: Pekerja yang Tertinggal
Sementara itu, nasib buruh tani pun tidak kalah tragis. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa upah buruh tani di Indonesia hanya sekitar 62% dari upah tukang bangunan, salah satu sektor pekerjaan dengan upah yang relatif lebih tinggi. Ini menunjukkan betapa rendahnya penghargaan terhadap pekerjaan yang mengandalkan tenaga fisik ini. Meskipun buruh tani bekerja keras di sawah atau ladang dari pagi hingga sore, mereka sering kali tidak mendapatkan upah yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Keadaan ini semakin diperburuk dengan menurunnya jumlah generasi muda yang tertarik untuk menjadi petani atau buruh tani. Menurut survei yang dilakukan oleh IPB University, petani yang berusia di atas 45 tahun mendominasi jumlah petani Indonesia, sementara jumlah petani muda semakin sedikit. Ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian kekurangan regenerasi, yang berpotensi mengancam keberlanjutan produksi pangan di masa depan.
Lahan Pertanian yang Menyusut
Salah satu penyebab penurunan kesejahteraan petani adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian. Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, lahan sawah di Indonesia menyusut hingga lebih dari 1 juta hektare akibat konversi lahan untuk pembangunan infrastruktur dan perumahan. Hal ini menyebabkan petani kehilangan sumber penghidupan mereka, dan memperburuk ketahanan pangan di Indonesia.
Kondisi ini menjadi semakin mencemaskan ketika lahan pertanian yang tersisa semakin terbatas dan tak bisa mencukupi kebutuhan pangan untuk populasi yang terus berkembang. Petani yang masih bertahan di lahan yang tersisa sering kali kesulitan dalam mempertahankan kualitas tanah dan keberlanjutan hasil pertanian mereka.
Regenerasi Petani: Harapan yang Kian Menipis
Berdasarkan laporan Kementerian Pertanian, jumlah rumah tangga usaha pertanian (RUTP) pada periode 2013-2023 meningkat 8%, namun lahan yang tersedia semakin sempit. Menurut ahli pertanian, regenerasi petani menjadi tantangan besar yang harus segera diatasi. Tanpa adanya perubahan signifikan dalam kebijakan pertanian dan kesejahteraan petani, Indonesia bisa menghadapi krisis pangan dalam beberapa dekade mendatang.
Upaya untuk menarik minat generasi muda agar kembali ke dunia pertanian masih sangat minim. Padahal, sektor pertanian bukan hanya penting untuk ketahanan pangan, tetapi juga berpotensi menjadi sumber penghidupan yang menguntungkan jika dikelola dengan baik. Oleh karena itu, pemerintah harus merumuskan kebijakan yang tidak hanya melindungi petani lokal tetapi juga mendorong inovasi dan modernisasi dalam pertanian untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi petani Indonesia.
Nasib tragis petani dan buruh tani Indonesia adalah gambaran nyata dari ketidakberdayaan sektor pertanian dalam menghadapi berbagai tantangan global dan lokal. Dari harga produk yang rendah, upah yang tidak layak, hingga kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada petani, semuanya berkontribusi pada kesulitan yang mereka hadapi. Di tengah keterbatasan ini, mereka tetap bertahan dan terus berjuang untuk memenuhi kebutuhan pangan bangsa, meskipun sering kali harus merasakan pahitnya kerugian.
Untuk itu, sudah saatnya bagi pemerintah dan masyarakat untuk lebih memperhatikan nasib para petani dan buruh tani, serta memberikan dukungan yang lebih besar agar sektor pertanian bisa berkembang secara berkelanjutan dan memberikan kesejahteraan bagi para pelaku utamanya.