Daftar Buku-Buku yang Dilarang Beredar Pemerintah Orde Baru dan Alasan di Baliknya
- Tangkapan Layar
Jakarta, WISATA - Selama masa Orde Baru di Indonesia (1966-1998), pemerintah yang dikendalikan oleh Presiden Soeharto menerapkan pembatasan ketat pada karya-karya sastra dan buku-buku yang dianggap bisa mengancam stabilitas politik. Banyak buku karya penulis terkenal dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung atau lembaga lainnya, dengan dalih melindungi ideologi Pancasila dan menjaga keamanan nasional.
Tindakan ini berdampak besar pada kebebasan berekspresi dan budaya literasi di Indonesia. Buku-buku yang dilarang pada masa Orde Baru sering kali mengangkat isu-isu sensitif, termasuk perlawanan terhadap ketidakadilan sosial, sejarah pergerakan kemerdekaan, dan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Berikut adalah beberapa buku terkenal yang dilarang, lengkap dengan alasan di balik pelarangannya:
1. Tetralogi Pulau Buru - Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan besar Indonesia, menulis Tetralogi Pulau Buru yang terdiri dari Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Buku-buku ini mengisahkan perjalanan Minke, seorang tokoh nasionalis di era kolonial, dalam mengejar keadilan. Namun, Tetralogi ini dilarang beredar karena dianggap mengandung ideologi Marxisme, yang dilarang keras pada masa itu. Larangan tersebut muncul karena Pramoedya pernah dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), meski dirinya tidak pernah terlibat langsung.
2. Hoakiau di Indonesia - Pramoedya Ananta Toer
Selain Tetralogi Pulau Buru, karya Pramoedya lainnya, Hoakiau di Indonesia, yang menyoroti diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, juga masuk daftar buku terlarang pada tahun 1960-an. Buku ini mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak adil terhadap warga keturunan Tionghoa. Pada masa Orde Baru, sentimen anti-Tionghoa sangat tinggi, sehingga buku yang mengangkat topik ini dianggap mengancam keharmonisan sosial. Pelarangan buku ini mencerminkan sikap represif pemerintah Orde Baru terhadap isu-isu etnis yang dianggap sensitif.
3. Matinya Seorang Petani - Agam Wispi dan Penulis Lain