Ekonomi Lesu: Shifting Teknologi atau Dampak Resesi Global?
- Image Creator Bing/Handoko
Jakarta, WISATA - Di tengah gejolak ekonomi yang melanda hampir seluruh dunia, pertanyaan yang muncul di benak banyak orang adalah, apakah kondisi ekonomi yang lesu saat ini disebabkan oleh shifting teknologi yang pesat, ataukah dampak dari resesi global yang lebih mendalam? Dua fenomena ini saling berhubungan, namun mengidentifikasi akar permasalahannya sangat penting untuk merumuskan strategi pemulihan yang efektif.
Shifting Teknologi: Transformasi yang Tidak Terhindarkan
Sejak beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan perubahan besar dalam cara bisnis beroperasi. Transformasi digital, atau shifting teknologi, menjadi salah satu pendorong utama perubahan ini. Menurut laporan dari McKinsey & Company, perusahaan-perusahaan yang beradaptasi dengan teknologi baru selama pandemi COVID-19 menunjukkan peningkatan produktivitas hingga 20-25%. Dengan beralih ke platform digital, banyak perusahaan mampu bertahan dan bahkan berkembang meskipun dalam kondisi yang tidak menguntungkan.
Namun, pergeseran ini juga membawa dampak negatif. Banyak bisnis tradisional, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM), kesulitan beradaptasi dengan perubahan ini. Sebuah survei oleh Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa lebih dari 50% UKM di Indonesia merasa tertekan dan mengalami penurunan pendapatan akibat ketidakmampuan mereka untuk beralih ke platform digital.
Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) juga menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 202 juta pada tahun 2023, namun tidak semua bisnis mampu memanfaatkan peluang ini dengan efektif. Akibatnya, sejumlah sektor, seperti retail dan hospitality, mengalami penurunan yang signifikan, yang berkontribusi pada lesunya ekonomi.
Dampak Resesi Global: Ketidakpastian yang Melanda
Sementara itu, banyak negara kini berada di ambang resesi, dengan berbagai faktor yang berkontribusi terhadap kondisi ini. Menurut laporan dari Dana Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan ekonomi global diperkirakan hanya mencapai 2,7% pada tahun 2023, jauh di bawah rata-rata historis. Beberapa faktor yang menyebabkan resesi ini antara lain inflasi yang tinggi, lonjakan harga energi, serta gangguan rantai pasokan akibat konflik geopolitik.
Di Eropa, misalnya, perang di Ukraina telah menciptakan krisis energi yang signifikan. Negara-negara seperti Jerman dan Prancis mengalami kenaikan biaya hidup yang tajam, sementara daya beli masyarakat menurun. Di Amerika Serikat, kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve untuk mengendalikan inflasi telah mengurangi konsumsi masyarakat, memicu ketidakpastian di pasar.
Di Indonesia, meskipun pertumbuhan ekonomi masih positif, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa inflasi mencapai 5,4% pada Agustus 2023, yang dipicu oleh kenaikan harga bahan pangan dan energi. Sektor-sektor yang bergantung pada daya beli masyarakat kini merasakan dampak langsung dari inflasi yang melambung ini.
Data Statistik yang Mendorong Diskusi
- Transformasi Digital: Survei dari APJII menunjukkan bahwa 70% pelaku usaha menyatakan bahwa mereka telah melakukan inovasi digital sejak pandemi. Namun, 60% dari mereka merasa tidak siap menghadapi tantangan yang muncul akibat pergeseran ini.
- Resesi Global: Laporan dari IMF memprediksi bahwa lebih dari 50 negara akan mengalami kontraksi ekonomi pada tahun 2023. Hal ini menunjukkan bahwa resesi bukanlah isu yang dihadapi hanya oleh negara-negara besar, tetapi juga oleh banyak negara berkembang.
- PHK di Sektor Teknologi: Data dari Layoffs.fyi mencatat lebih dari 300.000 PHK di sektor teknologi sepanjang tahun 2023. Banyak perusahaan besar terpaksa memangkas tenaga kerja untuk menjaga keberlangsungan bisnis di tengah ketidakpastian ekonomi.
Apakah Keduanya Saling Berhubungan?
Meneliti lebih dalam, shifting teknologi dan dampak resesi global tampaknya saling berkaitan. Perubahan cara kerja yang cepat akibat digitalisasi membuat banyak tenaga kerja terancam. Sektor-sektor yang tidak beradaptasi dengan cepat mengalami penurunan drastis, yang selanjutnya memperburuk kondisi ekonomi secara keseluruhan.
Di sisi lain, resesi yang melanda memperparah dampak dari shifting teknologi. Banyak perusahaan yang seharusnya melakukan transformasi terpaksa menunda atau bahkan membatalkan rencana mereka akibat ketidakpastian ekonomi. Hal ini menciptakan siklus negatif yang sulit diputus.
Strategi Pemulihan yang Harus Diterapkan
Melihat kondisi ini, penting bagi pemerintah dan sektor swasta untuk berkolaborasi dalam menghadapi tantangan yang ada. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
- Investasi dalam Pelatihan Digital: Pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk program pelatihan bagi pelaku usaha kecil agar mereka dapat beradaptasi dengan era digital.
- Dukungan untuk UKM: Memberikan insentif dan bantuan finansial kepada UKM yang mengalami kesulitan akibat transformasi digital.
- Stabilitas Ekonomi: Bank sentral perlu menjaga stabilitas harga dan daya beli dengan kebijakan moneter yang tepat, untuk mencegah inflasi yang lebih lanjut.
Kondisi ekonomi yang lesu saat ini merupakan hasil dari dua fenomena yang saling berinteraksi: shifting teknologi dan dampak resesi global. Menghadapi tantangan ini, kolaborasi dan inovasi menjadi kunci. Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai hubungan antara dua fenomena ini, kita dapat merumuskan strategi yang lebih efektif untuk menciptakan ekonomi yang lebih berkelanjutan.