Apakah Shifting Digital yang Disalahkan? Realitas Ekonomi di Tengah Ancaman Resesi
- Image Creator bing/Handoko
Jakarta, WISATA - Dunia kini berhadapan dengan realitas yang mengejutkan: pelemahan ekonomi global di tengah transformasi digital yang sangat pesat. Pertanyaan besar yang terus bergema adalah: Apakah kelesuan ekonomi ini semata-mata disebabkan oleh shifting digital, atau ada ancaman resesi global yang jauh lebih dalam? Perdebatan ini menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi, pengamat ekonomi, dan pelaku bisnis. Mari kita bedah kenyataan di balik fenomena yang tampaknya membingungkan ini.
Shifting Digital: Pendorong Utama atau Kambing Hitam?
Transformasi digital, atau yang populer disebut shifting digital, memang membawa perubahan yang dahsyat dalam hampir setiap aspek kehidupan manusia. Dengan perkembangan teknologi, perusahaan raksasa seperti Amazon dan Alibaba semakin menguasai pasar global, sementara toko-toko fisik tradisional mulai kehilangan pelanggan setia. Platform keuangan digital atau fintech juga mengubah cara masyarakat mengelola keuangan, mulai dari pembayaran hingga investasi.
Di Indonesia, data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa transaksi e-commerce meningkat sebesar 23% pada tahun 2023. Fenomena ini diiringi dengan lonjakan adopsi layanan keuangan berbasis aplikasi, yang tumbuh lebih dari 30% dalam dua tahun terakhir. Apakah ini pertanda baik? Tidak sepenuhnya. Meskipun inovasi ini mendorong efisiensi, ia juga menyebabkan hilangnya lapangan kerja di sektor konvensional. Banyak bank terpaksa memangkas tenaga kerja karena peningkatan layanan digital.
Namun, adakah data yang menyatakan bahwa shifting ini benar-benar menjadi penyebab kelesuan ekonomi secara keseluruhan? Beberapa pakar percaya bahwa transformasi digital hanyalah puncak gunung es dari krisis yang lebih kompleks.
Indikator Resesi: Sinyal Bahaya Ekonomi Global
Jika kita melihat lebih dalam, data makroekonomi memberikan gambaran yang cukup mencemaskan. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melambat dari 3.5% pada tahun 2022 menjadi hanya 2.7% pada tahun 2023. Hal ini didorong oleh kombinasi faktor, termasuk inflasi tinggi, kenaikan suku bunga oleh bank sentral, dan ketidakstabilan geopolitik yang berkepanjangan.
Data lain dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja di berbagai negara juga mengalami tekanan. Tingkat pengangguran di beberapa negara Eropa melonjak akibat penurunan produksi manufaktur. Di Amerika Serikat, sektor teknologi yang sebelumnya digadang-gadang sebagai sektor paling stabil justru mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, dengan lebih dari 150.000 pekerja teknologi kehilangan pekerjaan sepanjang 2023.
Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi tetap positif, namun tidak lepas dari ancaman global. Ekspor komoditas utama seperti batu bara dan minyak sawit terpengaruh oleh ketidakpastian ekonomi dunia. Selain itu, konsumsi domestik yang menjadi tumpuan utama ekonomi juga melemah akibat daya beli masyarakat yang menurun.
Fakta Shifting dan Resesi: Saling Menguatkan atau Saling Bertolak Belakang?
Apakah shifting digital dan ancaman resesi ini saling berkaitan? Dalam kenyataannya, keduanya bisa saling menguatkan. Transformasi digital memang dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi, tetapi dalam jangka pendek, ia dapat memperburuk ketimpangan ekonomi. Sebagai contoh, hanya mereka yang memiliki akses dan keahlian digital yang akan bertahan, sementara pekerja konvensional harus berjuang lebih keras untuk beradaptasi.
Sebuah survei yang dilakukan oleh McKinsey menyatakan bahwa 60% eksekutif di Asia-Pasifik percaya bahwa perusahaannya harus melakukan transformasi digital untuk bertahan dalam persaingan global. Namun, 40% lainnya menyebutkan bahwa adaptasi ini membutuhkan investasi besar, yang justru memperberat beban keuangan perusahaan di tengah ketidakpastian ekonomi.
Strategi Bertahan: Adaptasi atau Inovasi
Bagi banyak perusahaan, kunci untuk bertahan di era ini adalah menemukan keseimbangan antara inovasi dan adaptasi. Bisnis harus mengintegrasikan teknologi baru, tetapi juga tidak mengabaikan aspek-aspek manusiawi, seperti pelatihan ulang tenaga kerja. Di sisi lain, pemerintah di berbagai negara mulai menyadari bahwa intervensi diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Di Indonesia, pemerintah berupaya mendorong pelatihan digital untuk UMKM dan sektor tradisional. Program-program ini diharapkan dapat mempercepat adaptasi mereka ke era digital. Selain itu, kebijakan fiskal dan moneter terus diperbaiki untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.
Jalan Panjang Menuju Stabilitas
Meskipun shifting digital sering kali dianggap sebagai biang keladi dari kelesuan ekonomi, kita tidak bisa mengabaikan faktor-faktor lain seperti resesi global dan dinamika geopolitik. Realitasnya adalah dunia sedang mengalami transformasi besar, dan semua pihak harus beradaptasi. Ini bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang bagaimana kita menyesuaikan kebijakan ekonomi dan sosial untuk menciptakan masa depan yang lebih stabil.