Dominasi Asing di Meja Makan: Bagaimana Charoen Pokphand, Japfa, Menguasai Industri Unggas Indonesia
- Pexels
Jakarta, WISATA - Industri unggas di Indonesia sedang mengalami perubahan besar, dengan dua raksasa, Charoen Pokphand dan Japfa Comfeed, menguasai lebih dari 60% pasar. Bukan rahasia lagi bahwa kedua perusahaan ini, dengan skala operasional yang besar, berhasil memonopoli hampir seluruh aspek bisnis unggas, mulai dari produksi pakan, pembibitan, hingga distribusi daging ayam. Namun, yang jarang disadari adalah bagaimana dominasi asing ini berdampak pada peternak lokal dan konsumsi masyarakat Indonesia sehari-hari.
Penguasaan Pasar oleh Charoen Pokphand dan Japfa
Charoen Pokphand, perusahaan asal Thailand, masuk ke pasar Indonesia sejak tahun 1970-an dan sejak saat itu terus memperluas jangkauan bisnisnya. Sebagai salah satu perusahaan pakan terbesar di dunia, Charoen Pokphand tidak hanya menguasai pasar pakan ternak di Indonesia, tetapi juga sektor pembibitan ayam (day-old-chicks/DOC) dan pengolahan daging ayam.
Di sisi lain, Japfa Comfeed, meskipun berbasis di Indonesia, juga mendapatkan investasi besar dari luar negeri, menjadikannya pemain kuat di industri unggas nasional. Dengan kekuatan finansial yang besar, Japfa mampu mengembangkan fasilitas produksi unggas berteknologi tinggi, memperluas jaringan distribusi, dan berinovasi dalam produk-produk daging olahan yang dijual di pasar domestik.
Data dari Asosiasi Produsen Pakan Ternak Indonesia (APPTI) menunjukkan bahwa pada 2023, Charoen Pokphand dan Japfa Comfeed bersama-sama menguasai lebih dari 60% pangsa pasar pakan ternak dan DOC. Ini berarti sebagian besar daging ayam yang disajikan di meja makan masyarakat Indonesia berasal dari dua perusahaan besar tersebut. Dominasi ini tidak hanya mengancam peternak lokal, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran tentang ketergantungan Indonesia pada perusahaan asing dalam memenuhi kebutuhan pangan domestik.
Bagaimana Mereka Menguasai Pasar?
Keberhasilan Charoen Pokphand dan Japfa dalam menguasai pasar unggas di Indonesia dapat diatributkan pada beberapa faktor kunci. Pertama, kedua perusahaan ini memiliki skala produksi yang sangat besar. Dengan pabrik-pabrik yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, mereka mampu memproduksi pakan ternak dan DOC dalam jumlah besar dengan biaya produksi yang rendah. Efisiensi ini memungkinkan mereka untuk menjual produk mereka dengan harga yang lebih kompetitif dibandingkan peternak kecil.
Kedua, kedua perusahaan ini memiliki model bisnis terintegrasi secara vertikal. Mereka tidak hanya memproduksi pakan ternak, tetapi juga memelihara peternakan ayam dan mengolah daging ayam menjadi produk siap saji. Dengan menguasai seluruh rantai pasokan, Charoen Pokphand dan Japfa dapat mengendalikan harga dari hulu ke hilir, memberikan mereka kekuatan untuk mendominasi pasar.
Selain itu, mereka juga berinvestasi besar-besaran dalam penelitian dan pengembangan (R&D) untuk meningkatkan kualitas produk dan efisiensi produksi. Bibit unggas unggul yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan ini memiliki waktu pertumbuhan yang lebih cepat dan kualitas daging yang lebih baik, sehingga menjadi pilihan utama para peternak dan konsumen.
Apa Dampaknya bagi Peternak Lokal?
Kehadiran dua raksasa ini telah menimbulkan masalah serius bagi peternak unggas kecil di Indonesia. Peternak lokal sering kali kesulitan bersaing dengan harga rendah yang ditawarkan oleh Charoen Pokphand dan Japfa. Selain itu, dengan kedua perusahaan ini yang menguasai pasokan DOC, peternak kecil harus membeli bibit unggas dari mereka dengan harga yang cenderung lebih tinggi.
Menurut data dari Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas Nasional (GPPUN), pada 2023, harga DOC di pasaran sering kali naik secara signifikan, terutama ketika terjadi penurunan pasokan. Banyak peternak lokal yang merasa bahwa Charoen Pokphand dan Japfa memiliki kendali yang terlalu besar atas pasokan DOC, sehingga mereka bisa memanipulasi harga di pasar.
Keterlibatan KPPU dalam Mengatasi Monopoli
Pada 2016, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai menyelidiki dugaan praktek monopoli di industri unggas, terutama terkait pengaturan harga DOC. KPPU menuding bahwa Charoen Pokphand dan Japfa, bersama beberapa perusahaan besar lainnya, telah melakukan kartel dengan membatasi pasokan DOC di pasar, yang menyebabkan harga naik dan merugikan peternak kecil serta konsumen.
Dalam putusannya, KPPU menyatakan bahwa beberapa perusahaan terbukti melanggar Undang-Undang Persaingan Usaha dan dikenai sanksi denda. Meskipun demikian, dampak dari putusan ini belum sepenuhnya terlihat, karena Charoen Pokphand dan Japfa tetap menjadi pemain dominan di industri unggas Indonesia.
Apakah Dominasi Asing Ini Berbahaya?
Ketergantungan Indonesia pada perusahaan asing dalam sektor pangan, terutama daging ayam, menimbulkan kekhawatiran jangka panjang. Dalam kondisi normal, dominasi perusahaan seperti Charoen Pokphand mungkin tidak terlihat sebagai masalah besar. Namun, ketika terjadi gangguan di rantai pasokan global, Indonesia bisa menghadapi masalah serius dalam memenuhi kebutuhan pangan domestik.
Pada 2020, misalnya, pandemi COVID-19 menyebabkan gangguan pada rantai pasok pangan global. Meskipun dampaknya terhadap pasokan ayam di Indonesia tidak terlalu besar, ketergantungan pada perusahaan asing tetap menjadi faktor risiko yang perlu diwaspadai di masa depan.
Apa Solusinya?
Untuk mengurangi ketergantungan pada perusahaan asing, pemerintah Indonesia perlu memperkuat posisi peternak lokal melalui berbagai kebijakan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
- Pemberian subsidi atau insentif kepada peternak kecil agar mereka bisa bersaing dengan harga produk yang ditawarkan oleh perusahaan besar.
- Memperkuat regulasi terkait persaingan usaha, sehingga perusahaan-perusahaan besar tidak bisa mendikte harga dan pasokan di pasar.
- Mendorong inovasi di kalangan peternak lokal melalui pelatihan dan bantuan teknologi, agar mereka bisa meningkatkan produktivitas dan kualitas produk mereka.
Dominasi Charoen Pokphand dan Japfa di industri unggas Indonesia bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Meskipun kedua perusahaan ini telah membawa inovasi dan efisiensi di pasar, dampak negatif terhadap peternak kecil dan potensi ketergantungan pada perusahaan asing merupakan masalah serius yang harus dihadapi. Dalam jangka panjang, pemerintah Indonesia perlu memastikan bahwa industri unggas tetap kompetitif dan tidak sepenuhnya dikuasai oleh beberapa perusahaan besar.