Nikel dan Kobalt: Logam Kunci yang Menggerakkan Revolusi Mobil Listrik

Revolusi Mobil Listrik
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Revolusi mobil listrik (EV) telah mengubah cara kita memandang kendaraan dan sumber energinya. Di balik inovasi ini terdapat kebutuhan mendasar yang sering terabaikan, yaitu bahan baku penting seperti nikel dan kobalt. Kedua logam ini tidak hanya memainkan peran krusial dalam produksi baterai lithium-ion yang digunakan oleh mobil listrik, tetapi juga menjadi penggerak utama dalam transisi menuju energi yang lebih bersih. Artikel ini akan membahas bagaimana nikel dan kobalt berperan penting dalam revolusi ini, serta dampaknya terhadap industri pertambangan dan ekonomi global.

Indonesia Serukan Tindakan Nyata Negara Maju dalam Transisi Hijau di ISF 2024

Peningkatan Permintaan Mobil Listrik

Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan perubahan iklim dan kebutuhan untuk mengurangi emisi karbon, mobil listrik menjadi alternatif yang semakin populer. Menurut laporan dari International Energy Agency (IEA), penjualan mobil listrik di seluruh dunia mencapai 6,6 juta unit pada tahun 2021, meningkat hampir 110% dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini mendorong permintaan yang signifikan akan nikel dan kobalt.

Jokowi Buka ISF 2024: Seruan Kolaborasi Global Hadapi Krisis Iklim

Nikel digunakan dalam komposisi baterai lithium-ion untuk meningkatkan densitas energi dan umur baterai. Sementara itu, kobalt berfungsi untuk meningkatkan stabilitas dan keselamatan baterai. Menurut data dari Benchmark Mineral Intelligence, permintaan nikel untuk baterai EV diperkirakan akan mencapai 1,7 juta ton pada tahun 2025, sementara permintaan kobalt diperkirakan mencapai 400.000 ton.

Nikel: Sumber Daya yang Berharga

Indonesia Pimpin 34 Proyek Besar Transisi Energi Asia: Langkah Konkret Hadapi Krisis Iklim

Indonesia menjadi salah satu produsen nikel terbesar di dunia. Dengan cadangan nikel yang melimpah, negara ini memegang peranan strategis dalam memasok kebutuhan global. Pada tahun 2022, Indonesia menyuplai sekitar 30% dari total pasokan nikel dunia. Hal ini menciptakan peluang besar bagi perekonomian nasional, tetapi juga menimbulkan tantangan terkait lingkungan dan keberlanjutan.

Dalam upaya memenuhi permintaan global, pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan hilirisasi yang mendorong investasi dalam smelter dan pengolahan nikel. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk sebelum diekspor. Namun, dampak lingkungan dari kegiatan penambangan nikel sering kali menjadi sorotan. Banyak lembaga lingkungan mengkhawatirkan kerusakan ekosistem akibat aktivitas pertambangan yang tidak terkelola dengan baik.

Halaman Selanjutnya
img_title