Setelah 20 Tahun, Ekspor Pasir Laut Kembali Dibuka: Apa Dampaknya Bagi Ekosistem Pesisir?

Perbedaan Pasir Laut dan Sedimen Laut (ilustrasi)
Sumber :
  • Image Creator/ Handoko

Jakarta, WISATA - Setelah hampir dua dekade ditutup, ekspor pasir laut Indonesia kembali dibuka oleh pemerintah. Keputusan ini menjadi sorotan publik karena membawa implikasi besar, terutama terhadap ekosistem pesisir yang sangat bergantung pada kelestarian pasir laut. Presiden Joko Widodo pada pertengahan 2024 mengumumkan bahwa pemerintah secara resmi membuka kembali kran ekspor pasir laut, yang sebelumnya dihentikan sejak 2003. Kebijakan ini diambil dengan dalih untuk mendorong perekonomian nasional, namun di sisi lain memunculkan kekhawatiran mengenai dampak lingkungan yang akan ditimbulkan.

Perbedaan Pasir Laut dan Sedimen Laut: Apakah Keduanya Benar-Benar Berbeda?

Latar Belakang Penutupan Ekspor Pasir Laut

Pada tahun 2003, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menutup ekspor pasir laut akibat kekhawatiran akan dampak buruknya terhadap lingkungan. Pasir laut merupakan elemen penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir. Penambangan pasir secara masif pada masa itu menimbulkan berbagai masalah, seperti abrasi pantai, kerusakan terumbu karang, dan hilangnya habitat bagi berbagai spesies laut. Penutupan ekspor saat itu dimaksudkan untuk menjaga kelestarian pesisir dan ekosistem laut.

IMDI 2024: Indeks Masyarakat Digital yang Mendukung Transformasi Talenta Nasional

Namun, setelah 20 tahun berjalan, pemerintah merasa perlu untuk membuka kembali ekspor pasir laut guna mendukung pertumbuhan ekonomi. Keputusan ini mendapatkan dukungan dari sebagian pihak, namun juga mengundang kritikan keras dari aktivis lingkungan dan masyarakat pesisir yang khawatir dengan dampaknya terhadap ekosistem.

Dampak Ekspor Pasir Laut Terhadap Ekosistem Pesisir

Indonesia Serukan Tindakan Nyata Negara Maju dalam Transisi Hijau di ISF 2024

Pembukaan kembali ekspor pasir laut menimbulkan banyak pertanyaan mengenai dampaknya terhadap ekosistem pesisir. Pasir laut memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas pantai. Penambangan pasir laut secara besar-besaran dapat menyebabkan kerusakan serius pada ekosistem pesisir. Salah satu dampak yang paling signifikan adalah abrasi pantai. Penurunan jumlah pasir di pantai akan membuat wilayah pesisir semakin rentan terhadap erosi yang dapat merusak infrastruktur dan merugikan masyarakat pesisir.

Selain itu, pasir laut juga berfungsi sebagai habitat bagi banyak spesies laut. Banyak organisme laut, seperti kerang, udang, dan ikan kecil, hidup dan berkembang biak di pasir laut. Kehilangan habitat ini dapat berdampak langsung pada populasi spesies tersebut, yang pada akhirnya akan mempengaruhi rantai makanan di lautan.

Terumbu karang juga sangat rentan terhadap penambangan pasir. Penambangan pasir laut yang berlebihan dapat menyebabkan sedimentasi di perairan, yang menghalangi sinar matahari mencapai terumbu karang. Hal ini dapat mengganggu fotosintesis alga yang hidup di terumbu karang dan menyebabkan kematian terumbu karang itu sendiri.

Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, abrasi pantai akibat penambangan pasir laut telah menyebabkan hilangnya lebih dari 29.000 hektar wilayah pesisir di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Di beberapa wilayah, seperti Riau dan Kepulauan Seribu, penurunan garis pantai telah mencapai rata-rata 2,5 meter per tahun.

Penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menunjukkan bahwa 35% terumbu karang di perairan Indonesia dalam kondisi rusak akibat sedimentasi yang disebabkan oleh penambangan pasir laut. Hal ini berdampak langsung pada kehidupan laut di sekitar terumbu karang dan menurunkan produktivitas perikanan di kawasan tersebut.

Upaya Pemerintah dalam Pengelolaan Penambangan Pasir Laut

Meski kebijakan ini dinilai kontroversial, pemerintah berkomitmen untuk menerapkan aturan yang lebih ketat dalam proses penambangan pasir laut. Menteri Kelautan dan Perikanan menegaskan bahwa hanya wilayah-wilayah tertentu yang akan diizinkan untuk dieksploitasi, dengan pengawasan ketat dari lembaga terkait. Pemerintah juga berjanji untuk memastikan bahwa penambangan pasir laut dilakukan dengan metode yang ramah lingkungan guna meminimalkan dampaknya terhadap ekosistem pesisir.

Namun, para aktivis lingkungan meragukan efektivitas pengawasan ini. Mereka menyoroti banyaknya kasus penambangan ilegal di masa lalu yang sulit dikendalikan, serta potensi kerusakan yang tidak dapat dipulihkan akibat eksploitasi pasir laut yang berlebihan.

Pembukaan kembali ekspor pasir laut setelah 20 tahun memang membawa dampak signifikan, baik bagi perekonomian maupun ekosistem pesisir. Meski pemerintah telah berjanji untuk menerapkan kebijakan yang lebih ramah lingkungan, kekhawatiran mengenai kerusakan ekosistem tetap ada. Keputusan ini perlu dipantau dengan ketat untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mengorbankan kelestarian lingkungan.