Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (SAF) sebagai Solusi Utama Pengurangan Emisi CO2

Potensi Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan dari Kelapa Sawit
Sumber :
  • Kemenko Perekonomian

Jakarta, WISATA – Penerbangan internasional, yang telah lama dikenal sebagai penyumbang emisi karbon dioksida (CO2) signifikan, kini memiliki harapan baru dalam upaya pengurangan emisi melalui penggunaan Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel/SAF). Bahan bakar inovatif ini semakin diakui sebagai solusi utama untuk mengurangi dampak lingkungan dari industri penerbangan. Dalam upaya mencapai target pengurangan emisi global, peran aktif semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, produsen bahan bakar, produsen pesawat, maskapai penerbangan, bandara, investor, dan lembaga keuangan sangat diperlukan.

Immanuel Kant: "Pengetahuan dan Moralitas adalah Dua Sisi dari Koin yang Sama; Keduanya Harus Berjalan Seiring untuk …."

SAF: Harapan Baru untuk Penerbangan Rendah Emisi

SAF adalah bahan bakar alternatif yang diproduksi dari bahan baku yang dapat diperbarui, seperti limbah tanaman dan limbah industri. Bahan bakar ini memiliki potensi besar untuk mengurangi emisi CO2 dalam penerbangan hingga 80% dibandingkan dengan bahan bakar fosil konvensional. Dengan meningkatnya tekanan global untuk menekan emisi gas rumah kaca, SAF dianggap sebagai solusi utama yang dapat membantu industri penerbangan mencapai target netralitas karbon pada tahun 2050.

Kawasaki Corleo: Kendaraan Masa Depan Multi Fungsi yang Ramah Lingkungan

Menurut laporan International Air Transport Association (IATA), permintaan SAF di seluruh dunia diperkirakan akan meningkat tajam dalam beberapa dekade mendatang. Ini menjadi alasan mengapa banyak negara, termasuk Indonesia, mulai memfokuskan upaya mereka pada pengembangan dan penggunaan SAF.

Peran Indonesia dalam Pengembangan SAF

Apa yang Tidak Membunuh Kita, Membuat Kita Lebih Kuat: Makna Mendalam dari Kutipan Friedrich Nietzsche

Indonesia, sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin dalam produksi SAF. Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dida Gardera, mengungkapkan bahwa Indonesia berencana memproduksi 238 juta liter SAF per tahun pada 2026. Ini didukung oleh kapasitas produksi used cooking oil (UCO) Indonesia yang mencapai 3,9 juta ton pada 2023, yang merupakan salah satu bahan baku utama dalam produksi SAF.

"Indonesia memiliki pasar industri penerbangan yang sangat besar dengan 251 bandara yang sudah ada dan 50 bandara baru yang sedang dalam rencana. Ini adalah peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi pusat produksi dan penggunaan SAF di Asia," jelas Deputi Dida dalam presentasinya di acara “2024 ICAO APAC Regional Seminar on Environment” di Bangkok, Thailand.

Manfaat dan Tantangan dalam Penggunaan SAF

Deputi Dida menjelaskan bahwa SAF menawarkan berbagai manfaat, terutama dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendukung transisi energi menuju sumber yang lebih bersih. Namun, penggunaan komersial SAF masih menghadapi sejumlah tantangan, termasuk keterbatasan bahan baku, biaya produksi yang tinggi, dan infrastruktur yang belum memadai.

"Pengembangan SAF memerlukan dukungan penuh dari semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, industri, dan komunitas internasional. Kerja sama yang erat dan investasi yang cukup dalam teknologi dan infrastruktur akan menjadi kunci sukses dalam mewujudkan potensi penuh SAF," tambah Deputi Dida.

Uji Coba SAF di Indonesia: Menuju Penerbangan Ramah Lingkungan

Indonesia telah melakukan uji coba SAF sejak tahun 2020 dengan hasil yang menggembirakan. Salah satu uji coba terbaru dilakukan pada kuartal ketiga tahun 2023 menggunakan pesawat Garuda Boeing 737-800. Hasil uji menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kinerja antara SAF dan bahan bakar fosil konvensional, yang menunjukkan bahwa SAF dapat menjadi alternatif yang layak untuk digunakan dalam penerbangan komersial.

Selain itu, Indonesia juga sedang mengeksplorasi potensi penggunaan Palm Kernel Expeller (PKE) atau bungkil sawit sebagai bahan baku SAF. PKE, yang merupakan produk sampingan dari proses ekstraksi minyak kelapa sawit, memiliki potensi besar untuk diubah menjadi bioethanol, yang kemudian dapat digunakan sebagai bahan baku SAF. Dengan potensi produksi PKE mencapai 6 juta ton per tahun, Indonesia sedang dalam proses mengusulkan PKE sebagai bahan baku SAF dalam daftar CORSIA.

"Ini adalah langkah strategis yang dapat meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global sekaligus berkontribusi pada upaya pengurangan emisi global," ujar Deputi Dida.

Komitmen Indonesia dalam Mengurangi Emisi Global

Seminar ICAO di Bangkok menjadi momen penting bagi Indonesia untuk menegaskan komitmennya dalam pengembangan SAF dan upaya pengurangan emisi global. Dengan dukungan dari pemerintah, industri, dan komunitas internasional, SAF diharapkan dapat memainkan peran penting dalam masa depan penerbangan yang lebih berkelanjutan.

"Indonesia siap untuk menjadi pemimpin dalam pengembangan dan penerapan SAF. Dengan langkah-langkah strategis yang telah diambil, kita optimis bahwa SAF akan menjadi solusi utama dalam menghadapi tantangan perubahan iklim di masa depan," tutup Deputi Dida.