Dari Brain Rot ke Keseimbangan Hidup: Wisata Slow Living sebagai Solusi

Seseorang Menikmati JOMO, Retret Meditasi di Ubud Bali
Sumber :
  • Image Creator bing/Handoko

Jakarta, WISATA - Di tengah hiruk-pikuk era digital, istilah Brain Rot mencuat sebagai fenomena yang menggambarkan kelelahan mental akibat paparan konten digital yang berlebihan. Banyak individu kehilangan fokus, merasa tertekan, dan sulit menikmati momen tanpa gangguan teknologi. Untuk mengatasi masalah ini, konsep slow living tourism atau wisata hidup lambat hadir sebagai solusi, membawa kita kembali ke esensi kehidupan yang penuh kesadaran.

Ketika Brain Rot Mengintai, Stoicisme Jadi Kunci Menjaga Ketenangan Batin

Apa Itu Wisata Slow Living?

Wisata slow living adalah bentuk perjalanan yang menekankan pada pengalaman menikmati momen secara mendalam, jauh dari distraksi teknologi. Aktivitas ini melibatkan keterhubungan dengan alam, budaya lokal, dan diri sendiri tanpa tekanan untuk terus mengikuti ritme cepat dunia modern.

Melawan Brain Rot: Wisata JOMO sebagai Terapi Digital di Era Kecanduan Media Sosial

Manfaat Wisata Slow Living dalam Melawan Brain Rot

1.     Mengurangi Stimulasi Berlebih Di destinasi wisata slow living, seperti pedesaan terpencil atau kawasan pegunungan, pengunjung diundang untuk memutuskan diri dari notifikasi yang membombardir otak setiap hari.

Wisata JOMO dan Stoikisme Modern untuk Mengikis Perilaku YOLO, FOMO, dan FOPO Generasi Muda

2.     Meningkatkan Kesejahteraan Emosional Penelitian menunjukkan bahwa waktu yang dihabiskan di alam bebas dapat menurunkan tingkat kortisol, hormon stres. Dengan demikian, wisata ini memberikan peluang untuk memperbaiki suasana hati dan kesehatan mental secara keseluruhan.

3.     Mendukung Kesadaran Penuh Melalui aktivitas seperti meditasi, memasak makanan lokal, atau berkebun, wisatawan diajak untuk fokus pada momen sekarang, meningkatkan rasa syukur dan kepuasan hidup.

Halaman Selanjutnya
img_title