Dari Brain Rot ke Keseimbangan Hidup: Wisata Slow Living sebagai Solusi

Seseorang Menikmati JOMO, Retret Meditasi di Ubud Bali
Sumber :
  • Image Creator bing/Handoko

Jakarta, WISATA - Di tengah hiruk-pikuk era digital, istilah Brain Rot mencuat sebagai fenomena yang menggambarkan kelelahan mental akibat paparan konten digital yang berlebihan. Banyak individu kehilangan fokus, merasa tertekan, dan sulit menikmati momen tanpa gangguan teknologi. Untuk mengatasi masalah ini, konsep slow living tourism atau wisata hidup lambat hadir sebagai solusi, membawa kita kembali ke esensi kehidupan yang penuh kesadaran.

Mengapa Penderita Demensia Sering Merasa Hidup Sendiri? Ini Penjelasan Ilmiah dan Cara Mengatasinya

Apa Itu Wisata Slow Living?

Wisata slow living adalah bentuk perjalanan yang menekankan pada pengalaman menikmati momen secara mendalam, jauh dari distraksi teknologi. Aktivitas ini melibatkan keterhubungan dengan alam, budaya lokal, dan diri sendiri tanpa tekanan untuk terus mengikuti ritme cepat dunia modern.

Rasionalitas: Cahaya yang Menuntun di Tengah Kegelapan Nafsu – Inspirasi dari Chrysippus

Manfaat Wisata Slow Living dalam Melawan Brain Rot

1.     Mengurangi Stimulasi Berlebih Di destinasi wisata slow living, seperti pedesaan terpencil atau kawasan pegunungan, pengunjung diundang untuk memutuskan diri dari notifikasi yang membombardir otak setiap hari.

40 Kutipan Ajaran Chrysippus yang Masih Relevan dan Menjadi Inspirasi

2.     Meningkatkan Kesejahteraan Emosional Penelitian menunjukkan bahwa waktu yang dihabiskan di alam bebas dapat menurunkan tingkat kortisol, hormon stres. Dengan demikian, wisata ini memberikan peluang untuk memperbaiki suasana hati dan kesehatan mental secara keseluruhan.

3.     Mendukung Kesadaran Penuh Melalui aktivitas seperti meditasi, memasak makanan lokal, atau berkebun, wisatawan diajak untuk fokus pada momen sekarang, meningkatkan rasa syukur dan kepuasan hidup.

Halaman Selanjutnya
img_title