Para Filsuf Pengkritik Aliran Filsafat Epikureanisme, yang Didirikan oleh Epikuros
- Image Creator/Handoko
Aristoteles, murid Plato, juga memberikan kritik terhadap Epikureanisme. Meskipun ia setuju bahwa kebahagiaan adalah tujuan utama hidup, ia berpendapat bahwa kebahagiaan sejati dicapai melalui aktualisasi potensi manusia dan kebajikan, bukan hanya melalui kenikmatan. Dalam "Nicomachean Ethics," Aristoteles menyatakan bahwa kehidupan yang baik adalah kehidupan yang dijalani dengan kebajikan (arete) dan keseimbangan (mesotes), yang mencakup aspek-aspek seperti keberanian, keadilan, dan kebijaksanaan.
3. Stoikisme: Zeno dari Citium dan Marcus Aurelius
Stoikisme adalah aliran filsafat yang berkembang bersamaan dengan Epikureanisme dan menawarkan pandangan yang sangat berbeda. Zeno dari Citium, pendiri Stoikisme, mengajarkan bahwa kebahagiaan dicapai melalui ketenangan batin dan penerimaan terhadap takdir, bukan melalui pencarian kenikmatan dan penghindaran rasa sakit. Marcus Aurelius, seorang kaisar Romawi dan filsuf Stoik, menulis dalam "Meditations" tentang pentingnya menerima segala sesuatu yang terjadi dengan ketenangan dan kesabaran. Stoikisme mengkritik Epikureanisme karena fokusnya yang terlalu besar pada kenikmatan fisik dan penghindaran rasa sakit.
4. Skeptisisme: Pyrrho
Pyrrho, pendiri Skeptisisme, memberikan kritik terhadap kepastian yang dicari oleh Epikureanisme. Skeptisisme mengajarkan bahwa manusia tidak dapat mencapai pengetahuan yang pasti tentang dunia, dan oleh karena itu harus menangguhkan penilaian (epoché) dan hidup dalam keadaan ketenangan (ataraxia). Pyrrho berpendapat bahwa upaya untuk mencapai kebahagiaan melalui kenikmatan dan penghindaran rasa sakit berdasarkan pengetahuan tertentu tentang dunia adalah sia-sia dan tidak realistis.
5. Kristen Awal: St. Augustine
St. Augustine, seorang filsuf dan teolog Kristen awal, juga mengkritik Epikureanisme. Dalam pandangan St. Augustine, kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui hubungan dengan Tuhan dan kehidupan yang berlandaskan iman Kristen. Ia menganggap pencarian kenikmatan fisik dan penghindaran rasa sakit sebagai bentuk pencarian yang sia-sia dan sesat. St. Augustine menekankan pentingnya nilai-nilai spiritual dan transendental yang tidak ditemukan dalam ajaran Epikureanisme.