NDORO KAKUNG*: "Tumbangnya Media Konvensional di Kaki Podcaster"
- FB: ndorokakungwicaksono
Jakarta, WISATA – Pagi ini, seperti biasa, saya duduk di beranda rumah dengan secangkir kopi dan ponsel di tangan.
Bukan koran yang saya buka, tapi linimasa media sosial, termasuk Facebook.
Sejak beberapa tahun lalu, ritual saya berubah.
Bukan karena saya sudah tak cinta pada kertas yang dulu saya isi dengan berita setiap hari, tetapi karena zaman telah menggeser kebiasaan, dan saya, sebagai wartawan pensiunan, tak punya kuasa menahan arusnya.
Lalu saya membaca tulisan Wiwik Wae tentang Densu (Denny Sumargo) yang kini dikenal sebagai “influencer andalan netizen.”
Densulah yang kini kerap disebut-sebut publik untuk mengangkat kasus-kasus yang luput dari sorotan media arus utama.
Bukan Kompas, bukan CNN, bukan Kumparan.
Kenyataan itu membuat dada saya sesak oleh pertanyaan yang mungkin sama dengan yang dirasakan teman-teman pewarta seangkatan saya: “Kenapa bukan kami lagi?”
Dulu, kami adalah benteng terakhir antara rakyat dan kekuasaan.
Nama media kami menggema sebagai penentu arah opini, pembuka tabir kebenaran, penjaga nurani publik. Kini, suara kami tenggelam di antara algoritma, clickbait, dan konten selebgram.
Ironis? Pahit? Ya. Tapi bukan tanpa sebab.
Saya tidak hendak menyalahkan publik.
Tidak pula menyalahkan Densu atau siapa pun yang kini menjadi rujukan utama warganet.
Mereka hadir karena ada kekosongan yang dibiarkan menganga terlalu lama oleh media itu sendiri.
Pertama-tama, mari bicara soal pengalaman membaca—user experience, begitu kata anak-anak sekarang.
Saya pernah mencoba membaca berita di portal daring media nasional.
Belum sempat alinea kedua, sudah muncul iklan yang menutupi layar.
Ndoro Kakung
- IG: @ndorokakung
Saya paham betul, iklan adalah nyawa perusahaan.
api ketika iklan mengganggu cerita, bukankah itu seperti menjerit di tengah orang berkhotbah? Tidak ada yang bisa khusyuk.
Kedua, soal konten.