Al-Biruni: Ilmuwan Jenius dari Peradaban Islam yang Mendahului Zaman
- Wikipedia
Malang, WISATA – Di balik debu sejarah peradaban Islam abad pertengahan, tersembunyi sosok jenius yang hingga kini masih menggema kontribusinya di dunia sains modern: Abu Rayhan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni. Ia bukan sekadar ilmuwan. Ia adalah penjelajah pikiran, pengamat alam semesta, dan pelopor metode ilmiah yang mendahului zamannya berabad-abad.
Al-Biruni hidup pada era keemasan Islam, di mana Baghdad dan wilayah sekitarnya menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia. Lahir pada tahun 973 M di wilayah yang kini masuk dalam negara Uzbekistan, Al-Biruni tumbuh dalam budaya yang menjunjung tinggi ilmu. Namun, yang membedakan dirinya dari ilmuwan lain adalah cara berpikirnya—ia tidak hanya menerima ilmu, tetapi mempertanyakan, menguji, dan mengembangkan.
Pendekatan Ilmiah Sebelum Galileo dan Newton
Yang mencengangkan, metode kerja Al-Biruni sudah menyerupai pendekatan ilmiah modern. Ia menolak argumen tanpa bukti dan senantiasa mencari penjelasan berdasarkan observasi dan pengukuran yang cermat. Dalam bukunya Tahdid Nihayat al-Amakin (Penentuan Koordinat Tempat di Bumi), ia menghitung keliling bumi dengan margin kesalahan sangat kecil, jauh sebelum ilmuwan Eropa mengemukakan teori serupa.
Tak hanya itu, Al-Biruni secara eksplisit menyatakan bahwa pengetahuan harus diuji melalui eksperimen dan bukan sekadar tradisi. Pandangan ini revolusioner pada masanya, dan menjadi fondasi penting bagi perkembangan metode ilmiah di Eropa ratusan tahun kemudian.
Multidisipliner: Dari Astronomi hingga Farmasi
Al-Biruni tidak membatasi dirinya pada satu cabang ilmu. Ia menguasai astronomi, matematika, fisika, geografi, geologi, farmasi, bahkan antropologi dan sejarah agama. Salah satu karyanya yang monumental, Kitab al-Qanun al-Mas'udi, adalah ensiklopedia astronomi dan matematika yang menjadi referensi utama di Timur dan Barat.