Seneca: Kematian Bukan Akhir, Tapi Proses yang Mengajari Kita Arti Hidup
- Cuplikan layar
Malang, WISATA - “The final hour when we cease to exist does not itself bring death...”
Kematian sering dipahami sebagai momen tragis yang mengakhiri segalanya. Namun, bagi filsuf Stoik Romawi, Lucius Annaeus Seneca, kematian bukanlah detik terakhir kita berhenti bernapas, melainkan proses yang telah dimulai jauh sebelum itu—saat kita tidak lagi hidup dengan kesadaran, keberanian, dan tujuan.
Pemikiran ini begitu relevan di era modern yang serba cepat dan penuh tekanan. Banyak orang terjebak dalam rutinitas, kehilangan arah, dan hidup tanpa benar-benar “hidup”. Seneca mengajak kita untuk merenung: apakah kita benar-benar hidup atau sekadar bertahan dari hari ke hari?
Kematian Bukan Sekadar Kejadian Fisik
Seneca percaya bahwa kematian sejati bukanlah saat tubuh tak lagi berfungsi, tetapi ketika jiwa manusia menyerah, kehilangan semangat, dan berhenti mencari makna. Dalam kutipan terkenalnya, "The final hour when we cease to exist does not itself bring death...", ia menolak gagasan bahwa kematian hanya urusan biologis. Kematian, baginya, adalah kondisi mental dan spiritual yang bisa hadir jauh sebelum napas terakhir.
Artinya, seseorang bisa "mati" secara batin meski secara fisik masih hidup—jika ia kehilangan harapan, semangat berkarya, atau keberanian bermimpi.
Hidup dalam Rasa Takut adalah Bentuk Kematian Dini
Dalam dunia yang dibanjiri oleh berita negatif, kompetisi sosial media, dan tekanan hidup, banyak orang hidup dalam ketakutan: takut gagal, takut kesepian, takut ditolak, dan yang paling mendasar—takut mati. Ironisnya, ketakutan terhadap kematian justru bisa mencuri kehidupan itu sendiri.