5 Pelajaran Stoik dari Tim Ferriss untuk Menghadapi Tekanan Hidup Modern

Tim Ferriss Tokoh Stoicisme Modern
Sumber :
  • Cuplikan layar

Malang, WISATA – Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan seperti sekarang, banyak orang merasa kehabisan energi, kehilangan arah, dan terjebak dalam siklus stres yang terus berulang. Namun, bagi Tim Ferriss—penulis, pengusaha, dan podcaster terkenal—kunci menghadapi tekanan hidup modern bukanlah dengan bekerja lebih keras atau menumpuk pencapaian, melainkan dengan menyederhanakan cara berpikir. Salah satu filosofi yang paling memengaruhi cara hidup Ferriss adalah Stoikisme, ajaran kuno yang telah membentuk pola pikir dan produktivitasnya secara mendalam.

"Filsafat Tidak Dilahirkan dari Rasa Ingin Tahu, tetapi dari Rasa Cemas": Pesan Mendalam Pierre Hadot

Ferriss tidak hanya membaca karya-karya filsuf Stoik seperti Seneca, Marcus Aurelius, dan Epictetus. Ia mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari bagaimana ia membuat keputusan, mengelola ketakutan, hingga menjalani hari dengan efisiensi tinggi. Dalam berbagai wawancara dan tulisannya, Ferriss membagikan bagaimana Stoikisme telah membantunya tetap tangguh, terutama dalam menghadapi tantangan pribadi dan tekanan dunia profesional.

Berikut adalah lima pelajaran Stoik dari Tim Ferriss yang bisa Anda terapkan untuk menghadapi tekanan hidup modern dengan lebih tenang dan bijaksana.

Socrates: “Bukan Hidup yang Penting, Tetapi Hidup yang Baik” — Makna Mendalam di Balik Hidup Manusia

1. Visualisasi Negatif: Hadapi Ketakutan, Bukan Menghindarinya

Salah satu praktik Stoik favorit Ferriss adalah negative visualization atau visualisasi negatif. Teknik ini mengajak kita untuk secara sadar membayangkan skenario terburuk dari suatu situasi. Misalnya, jika Anda takut kehilangan pekerjaan, cobalah bayangkan apa yang sebenarnya akan terjadi jika hal itu terjadi. Apakah Anda masih bisa makan? Apakah Anda akan menemukan peluang lain?

Setiap Hari Adalah Latihan Karakter: Cara Hidup Stoik

Ferriss meyakini bahwa dengan menghadapi ketakutan secara langsung, kita justru bisa mengurangi kekuatannya. Ketika yang kita bayangkan tidak seburuk kenyataan, kita menjadi lebih berani mengambil tindakan. Inilah cara Stoik melatih mental untuk lebih tahan terhadap tekanan.

2. Voluntary Discomfort: Belajar Nyaman dengan Ketidaknyamanan

Dalam berbagai kesempatan, Ferriss menyebut bahwa salah satu praktik Stoik yang paling membantunya adalah voluntary discomfort—secara sukarela menjalani ketidaknyamanan. Ia kadang tidur di lantai, mandi air dingin, atau menjalani puasa intermiten bukan karena kebutuhan, tapi sebagai latihan mental.

Tujuannya sederhana: untuk membiasakan diri menghadapi hal-hal yang tidak nyaman, agar ketika kenyamanan itu benar-benar hilang, kita tetap kuat. Di tengah zaman yang penuh kemudahan, latihan semacam ini menjadi pelajaran berharga tentang daya tahan dan kesederhanaan.

3. Fokus pada Hal yang Bisa Dikendalikan

Salah satu inti Stoikisme adalah membedakan antara hal yang bisa dan tidak bisa kita kendalikan. Menurut Ferriss, banyak tekanan dalam hidup berasal dari mencoba mengontrol hal-hal yang berada di luar kendali kita—seperti opini orang lain, keadaan politik, atau bahkan hasil kerja kita.

Ferriss menyarankan untuk fokus pada apa yang bisa kita lakukan: cara kita bereaksi, keputusan yang kita buat, dan bagaimana kita menggunakan waktu. Dengan mempersempit fokus pada hal-hal yang berada dalam kendali, kita akan merasa lebih tenang dan lebih mampu menghadapi situasi yang tidak pasti.

4. “Fear-Setting”: Ganti Tujuan dengan Keberanian

Berbeda dengan penetapan tujuan (goal-setting) seperti yang banyak diajarkan dalam dunia pengembangan diri, Ferriss mengembangkan teknik bernama fear-setting. Teknik ini lebih menekankan pada identifikasi ketakutan yang menghambat kita untuk bertindak.

Ia menyusun daftar ketakutan, kemungkinan dampaknya, dan bagaimana cara mengatasinya jika hal tersebut benar-benar terjadi. Dengan begitu, ketakutan menjadi lebih konkret dan bisa dikelola, bukan hanya dirasakan sebagai beban samar yang menghantui. Teknik ini telah membantu Ferriss dalam membuat keputusan besar dalam hidupnya, termasuk ketika ia memutuskan untuk meninggalkan karier yang tidak lagi ia nikmati.

5. Terima Ketidaksempurnaan dan Ubah Sudut Pandang

Pelajaran Stoik terakhir yang sering dikutip Ferriss adalah menerima kenyataan bahwa hidup tidak akan pernah sempurna. Tidak ada waktu yang “tepat” untuk memulai sesuatu. Dalam bukunya, ia menulis: “Conditions are never perfect. ‘Someday’ is a disease that will take your dreams to the grave with you.”

Kita sering kali menunda-nunda tindakan karena menunggu saat yang ideal. Padahal, yang perlu kita ubah adalah sudut pandang kita terhadap ketidaksempurnaan. Dengan menerima bahwa kondisi saat ini cukup untuk memulai, kita akan lebih ringan melangkah dan keluar dari perangkap perfeksionisme.

Kesimpulan: Stoikisme Bukan Teori, Tapi Gaya Hidup

Apa yang dilakukan Tim Ferriss bukan sekadar mengutip filosofi kuno, tapi menjadikannya bagian dari rutinitas dan keputusannya sehari-hari. Stoikisme membantunya menjalani hidup yang lebih ringan, fokus, dan bermakna. Dalam era digital yang penuh kebisingan dan tekanan, pelajaran Stoik ini menjadi semakin relevan untuk siapa saja yang ingin hidup dengan kepala dingin dan hati yang kuat.

Dari menghadapi ketakutan, menjalani ketidaknyamanan, hingga fokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan, semua prinsip ini adalah alat yang bisa kita gunakan setiap hari—tanpa perlu menunggu jadi miliarder atau tokoh besar. Yang diperlukan hanyalah kemauan untuk mencoba dan membentuk ulang cara pandang kita terhadap dunia.