7 Cara Stoik Menghadapi Penderitaan Menurut Massimo Pigliucci
- Cuplikan layar
Malang, WISATA — Dalam hidup, penderitaan adalah keniscayaan. Tidak ada manusia yang sepenuhnya luput dari rasa sakit, kehilangan, kekecewaan, atau ketidakpastian. Namun, cara kita menyikapi penderitaan itulah yang membedakan kualitas hidup seseorang. Filsuf kontemporer Massimo Pigliucci, seorang tokoh penting dalam kebangkitan filsafat Stoik modern, menawarkan pendekatan yang kuat, praktis, dan penuh makna dalam menghadapi penderitaan berdasarkan ajaran Stoisisme.
Melalui karya-karyanya seperti How to Be a Stoic, Pigliucci merangkum bagaimana pemikiran para filsuf kuno seperti Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius dapat diterapkan dalam menghadapi tantangan hidup saat ini. Berikut ini adalah tujuh cara Stoik yang diajarkan Pigliucci untuk menghadapi penderitaan secara bijak dan transformatif.
1. Terima Apa yang Tidak Bisa Dikendalikan
Langkah pertama dalam menghadapi penderitaan adalah menerima kenyataan bahwa ada hal-hal yang berada di luar kendali kita. Stoik menyebutnya sebagai “dikotomi kendali.” Menurut Pigliucci, banyak penderitaan muncul karena kita terus melawan kenyataan atau berusaha mengubah hal-hal yang sebetulnya tidak bisa kita kendalikan, seperti masa lalu, reaksi orang lain, atau kematian.
“Jika kamu hanya fokus pada apa yang bisa kamu ubah—yakni pikiran dan tindakanmu sendiri—maka kamu akan terbebas dari penderitaan yang sia-sia,” tulis Pigliucci.
2. Latih Diri Menghadapi Kemungkinan Terburuk
Latihan mental Stoik seperti praemeditatio malorum, yaitu membayangkan kemungkinan terburuk sebelum itu terjadi, merupakan cara untuk memperkuat ketahanan batin. Pigliucci menjelaskan bahwa dengan memvisualisasikan skenario terburuk, kita tidak menjadi pesimis, melainkan lebih siap secara emosional dan mental.
“Dengan menghadapi rasa takut dalam pikiran terlebih dahulu, kita melemahkan cengkeramannya,” ujarnya.
3. Ubah Persepsi, Bukan Realitas
Penderitaan tidak selalu berasal dari kejadian itu sendiri, melainkan dari penilaian kita terhadapnya. Pigliucci mengutip Epictetus: “Bukan peristiwa yang menyakiti kita, tetapi opini kita tentangnya.” Maka, alih-alih larut dalam emosi negatif, kita bisa memilih untuk menafsirkan peristiwa secara lebih rasional.
Contoh konkret: kehilangan pekerjaan bisa ditafsirkan sebagai bencana, atau sebagai kesempatan untuk mengevaluasi kembali arah hidup.
4. Gunakan Penderitaan sebagai Latihan Kebajikan
Filsafat Stoik mengajarkan bahwa penderitaan adalah ladang untuk menumbuhkan kebajikan seperti kesabaran, keberanian, dan ketabahan. Pigliucci menekankan bahwa kesulitan adalah ujian karakter. Kita tidak bisa memilih untuk tidak menderita, tetapi kita bisa memilih untuk tetap bijak saat menderita.
“Penderitaan bukan akhir dari dunia, tapi panggilan untuk menjadi versi terbaik dari dirimu,” katanya.
5. Menjaga Perspektif Jangka Panjang
Sering kali penderitaan terasa besar karena kita melihatnya dalam skala kecil, hanya dari sudut pandang saat ini. Stoik mengajak kita untuk memperluas perspektif: Apakah masalah ini akan penting dalam lima tahun ke depan? Apakah penderitaan ini mengubah nilai terdalam kita?
Pigliucci menyarankan agar kita menggunakan refleksi harian atau jurnal Stoik untuk mengevaluasi ulang apa yang benar-benar penting dalam hidup.
6. Ingatlah Bahwa Hidup Itu Sementara
Memento mori — kesadaran akan kematian — adalah bagian integral dari filosofi Stoik. Menurut Pigliucci, merenungkan kefanaan hidup bukanlah hal yang suram, melainkan cara untuk hidup lebih bermakna dan penuh kesadaran.
“Ketika kita sadar bahwa waktu kita terbatas, kita akan berhenti membuang-buang energi untuk hal-hal yang tidak berarti,” ujarnya. Kesadaran ini membantu kita melihat penderitaan sebagai bagian dari keberadaan manusia, bukan sebagai musuh.
7. Bangun Komunitas yang Mendukung
Meski Stoisisme menekankan tanggung jawab pribadi, Pigliucci tidak mengabaikan pentingnya komunitas. Dalam banyak tulisannya, ia mendorong pembentukan komunitas Stoik modern — tempat orang-orang bisa saling mendukung dalam menjalani kehidupan berdasarkan kebajikan dan rasionalitas.
“Manusia adalah makhluk sosial,” katanya. “Menderita dalam kesendirian bisa membebani jiwa. Berbagi nilai dan perjuangan dengan sesama bisa menjadi kekuatan penyembuh.”
Penderitaan Bukan Musuh, tapi Guru
Massimo Pigliucci mengingatkan kita bahwa penderitaan bukanlah hal yang harus disingkirkan dengan segala cara. Sebaliknya, jika kita mau membuka diri, penderitaan bisa menjadi guru terbesar yang mengasah kebijaksanaan, menguatkan karakter, dan menyaring nilai-nilai sejati.
Dengan mempraktikkan prinsip-prinsip Stoik — dari menerima apa yang tak bisa dikendalikan hingga membingkai ulang makna penderitaan — kita tidak hanya bertahan dalam kesulitan, tapi juga berkembang melaluinya.
“Kesulitan adalah pelatih kehidupan, bukan musuh yang harus dihindari,” demikian kata Pigliucci, mengajak kita semua untuk melihat penderitaan bukan sebagai kutukan, tetapi sebagai pintu menuju hidup yang lebih bijak.