Hidup Tenang di Era Digital: Tips Stoik dari Marcus Aurelius

Marcus Aurelius
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA - Di tengah deru notifikasi, banjir informasi, dan tekanan hidup di era digital, banyak dari kita merasa terjebak dalam kecemasan, perbandingan sosial, dan kehilangan arah. Dunia maya telah mempercepat segalanya—koneksi, harapan, bahkan kelelahan mental. Tapi, lebih dari 1.800 tahun lalu, seorang filsuf sekaligus kaisar Romawi, Marcus Aurelius, sudah menyusun prinsip-prinsip kehidupan yang justru sangat relevan untuk zaman sekarang.

Mengapa Banyak Ilmuwan dan Intelektual Modern Terinspirasi Chrysippus

Marcus Aurelius mungkin tidak mengenal media sosial, smartphone, atau algoritma digital. Namun, filosofi Stoik-nya memberikan landasan kokoh untuk menjalani hidup yang tenang, fokus, dan penuh makna—bahkan di tengah gempuran dunia modern yang nyaris tak pernah diam.

Kembali ke Inti: Apa itu Stoikisme?

Bukan Hanya Teori: Cara Jules Evans Menjadikan Stoikisme Hidup

Stoikisme adalah filosofi hidup kuno yang berakar dari Yunani dan Romawi, mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari kebajikan, kendali diri, dan penerimaan terhadap hal-hal di luar kendali kita. Dalam konteks modern, ini seperti antivirus mental: membantu kita memilah mana yang penting, mana yang harus dilepaskan, dan bagaimana tetap tenang dalam situasi penuh tekanan.

Marcus Aurelius menuliskannya dalam catatan pribadinya yang kini dikenal sebagai Meditations. Ia tak bermaksud menerbitkannya—itulah mengapa tulisannya sangat jujur, dalam, dan aplikatif. Berikut beberapa kutipan dan ajaran Marcus yang bisa menjadi panduan hidup tenang di era digital.

Bagaimana Buku Jules Evans Membantu Orang Menemukan Makna Hidup

1.     Jangan Biarkan Dunia Luar Mengacaukan Dunia Dalam

“You have power over your mind — not outside events. Realize this, and you will find strength.”

Di era digital, kita dibombardir dengan opini, berita, tren, dan drama yang tak ada habisnya. Kita mudah terbawa emosi, marah karena komentar netizen, iri karena pencapaian orang lain, atau cemas karena algoritma memperlihatkan dunia yang tampak lebih sempurna dari hidup kita sendiri.

Ajaran Marcus mengingatkan: kita tidak mengontrol dunia luar, tetapi kita mengontrol bagaimana kita meresponsnya. Ketenangan berasal dari dalam, bukan dari likes atau validasi eksternal.

2.     Fokus pada Hal yang Bisa Dikendalikan

“The impediment to action advances action. What stands in the way becomes the way.”

Alih-alih terjebak dalam hal-hal yang di luar kendali seperti algoritma media sosial, berita sensasional, atau pendapat orang lain, Marcus mendorong kita untuk fokus pada tindakan kita sendiri. Ia mengajarkan bahwa rintangan bukan akhir, melainkan jalan menuju kebijaksanaan.

Di dunia digital, ini bisa berarti membatasi waktu layar, menyaring informasi yang kita konsumsi, atau memutuskan untuk tidak bereaksi terhadap provokasi online.

3.     Jangan Hidup untuk Menyenangkan Orang Lain

“Don’t waste the rest of your life worrying about what people think of you.”

Media sosial sering menjadi panggung pencitraan. Kita cenderung menampilkan versi terbaik dari diri kita—dan secara tak sadar, hidup untuk mendapatkan pengakuan. Namun Marcus menulis dengan tajam: jangan sia-siakan hidupmu dengan terus memikirkan apa kata orang. Nilai dirimu bukan dari likes, tetapi dari tindakan, niat, dan kebajikanmu.

4.     Mulailah Hari dengan Kesadaran

“When you arise in the morning, think of what a precious privilege it is to be alive—to breathe, to think, to enjoy, to love.”

Alih-alih langsung membuka ponsel dan tenggelam dalam notifikasi, mulailah hari dengan refleksi. Sadari betapa berharganya hidup ini. Buat jeda sebelum terburu-buru. Luangkan waktu untuk berterima kasih, menyusun niat baik, dan menyiapkan diri menghadapi dunia yang bising.

5.     Terima Takdir dengan Lapang Dada

“Accept the things to which fate binds you and love the people with whom fate brings you together.”

Di era digital, kita sering merasa FOMO (fear of missing out). Kita membandingkan takdir kita dengan orang lain. Tapi Marcus mengajak kita untuk mencintai jalan hidup kita sendiri—apa pun kondisinya. Mencintai takdir bukan berarti pasrah, melainkan menjalani hidup dengan penuh penerimaan dan rasa syukur.

6.     Kurangi Konsumsi, Tingkatkan Refleksi

“Very little is needed to make a happy life; it is all within yourself, in your way of thinking.”

Marcus mengingatkan bahwa kebahagiaan tidak datang dari luar, melainkan dari pikiran kita sendiri. Di zaman serba konsumtif, kita mudah terjebak dalam hasrat memiliki lebih banyak. Padahal, kesederhanaan dan ketenangan batin jauh lebih memuaskan daripada membeli barang terbaru yang segera kehilangan daya tariknya.

Tips Praktis Stoik untuk Dunia Digital

  • Batasi waktu di media sosial agar tidak mudah terdistraksi dan cemas.
  • Matikan notifikasi yang tidak penting.
  • Latih diri untuk menulis jurnal pagi: niat hari ini, hal yang disyukuri, dan nilai yang ingin dijalani.
  • Hadapi konflik atau komentar negatif dengan tenang, bukan reaktif.
  • Jadikan waktu layar sebagai alat, bukan tuan.
  • Jangan bandingkan hidupmu dengan highlight orang lain di media sosial.

Penutup: Menjadi Stoik Digital

Marcus Aurelius hidup di abad ke-2, tapi kebijaksanaannya justru menjadi kompas bagi kita yang hidup di abad ke-21. Di tengah hiruk-pikuk digital, ajarannya adalah penawar: mengajak kita kembali ke diri sendiri, menyadari apa yang penting, dan menjalani hidup dengan jujur, tenang, dan penuh makna.

Jika dunia luar terlalu bising, maka perkuat dunia dalam. Karena seperti kata Marcus, "Our life is what our thoughts make it."