“Kamu Menjadi Apa yang Kamu Perhatikan” – Makna Mendalam Epictetus yang Relevan di Era Digital
- Image Creator Grok/Handoko
Ironisnya, meski Epictetus hidup di zaman tanpa internet, ajarannya terasa sangat presisi untuk mengatasi tantangan zaman digital. Ia tidak pernah mengenal Instagram atau TikTok, tapi ia memahami mekanisme batin manusia: kita menjadi cermin dari apa yang terus-menerus kita pikirkan dan perhatikan.
Hal ini juga sejalan dengan ilmu psikologi modern. Fokus dan perhatian diketahui berpengaruh besar terhadap neuroplastisitas otak — kemampuan otak membentuk koneksi baru. Jika kita terus-menerus memerhatikan hal-hal negatif, otak kita akan terbentuk untuk lebih responsif terhadap stres dan kecemasan.
Sebaliknya, perhatian yang diarahkan pada syukur, kasih, dan ketenangan akan memperkuat bagian otak yang berhubungan dengan empati, regulasi emosi, dan rasa damai.
Menjadi Tuan atas Pikiran Sendiri
Akhirnya, ajaran Epictetus tentang perhatian bukan sekadar tips menghindari stres, tetapi sebuah panggilan untuk menjadi pemilik penuh atas hidup sendiri. Dunia luar bisa kacau, tapi kita tetap bisa tenang jika tahu cara mengarahkan perhatian ke hal yang esensial.
“Jangan biarkan orang lain atau dunia menentukan siapa dirimu. Kamu menjadi apa yang kamu perhatikan.” — Epictetus
Kalimat ini bisa menjadi mantera hidup baru, terutama bagi generasi muda yang hidup dalam banjir informasi dan tekanan sosial.