Chrysippus: “Menjadi Selaras dengan Logos adalah Tugas Utama Manusia”

Chrysippus
Sumber :
  • Cuplikan Layar

“Menjadi selaras dengan logos adalah tugas utama manusia.”
Chrysippus

Zeno dari Citium: “Orang Bijak Tidak Menyesali Masa Lalu, Tidak Takut pada Masa Depan”

Jakarta, WISATA - Pernyataan tersebut berasal dari Chrysippus, salah satu tokoh paling berpengaruh dalam Stoikisme klasik. Bagi Chrysippus, hidup manusia tidak hanya sekadar bernafas dan bertahan hidup. Hidup yang sejati adalah hidup yang dijalani selaras dengan logos — prinsip rasional yang mengatur alam semesta. Dalam ajaran Stoik, logos adalah hukum kosmik yang bersifat universal, rasional, dan mengarahkan segala sesuatu menuju keteraturan dan kebaikan.

Melalui kutipan ini, Chrysippus mengingatkan bahwa tugas paling mulia dari manusia adalah menyelaraskan dirinya dengan tatanan rasional alam semesta, bukan mengikuti nafsu dan dorongan yang tidak terkendali. Dalam artikel ini, kita akan mengulas makna filosofi mendalam dari kutipan tersebut, serta bagaimana prinsip itu tetap relevan dalam kehidupan modern.

Zeno dari Citium: “Apa yang Menimpa Kita Bukanlah Masalah, Cara Kita Menghadapinya yang Menentukan”

Siapa Chrysippus?

Chrysippus dari Soli (sekitar 280–207 SM) adalah filsuf Yunani dan pemikir utama dalam Stoikisme generasi ketiga. Ia dianggap sebagai penerus besar dari Zeno dan Cleanthes, serta penata struktur logika, etika, dan fisika Stoik yang kokoh. Chrysippus menulis lebih dari 700 karya, dan meskipun sebagian besar telah hilang, pengaruhnya tetap terasa dalam warisan pemikiran Stoik hingga kini.

Zeno dari Citium: “Kebebasan Sejati Datang dari Dalam, Bukan dari Luar”

Ia percaya bahwa kebajikan adalah satu-satunya kebaikan sejati, dan bahwa dunia diatur oleh logos, prinsip rasional dan ilahi yang harus dihormati serta dijadikan pedoman hidup.

Apa Itu Logos dalam Stoikisme?

Dalam Stoikisme, logos bukan sekadar kata atau logika. Logos adalah prinsip akal budi yang menjadi struktur mendasar dari alam semesta. Ia adalah hukum kosmik, tatanan alam, dan rasio ilahi yang menggerakkan segala hal menuju keteraturan dan kebaikan.

Konsep ini juga memuat ide bahwa manusia memiliki bagian dari logos di dalam dirinya, yaitu rasio atau akal budi. Maka, menjalani hidup secara rasional dan bajik adalah bentuk penyelarasan dengan logos.

Makna Kutipan: Menjadi Selaras dengan Logos

Ketika Chrysippus berkata bahwa tugas utama manusia adalah menjadi selaras dengan logos, ia mengajarkan beberapa prinsip utama Stoikisme:

1. Menghidupi Rasio

Manusia dikaruniai akal bukan untuk diabaikan, tetapi untuk digunakan dalam membuat keputusan, menahan dorongan yang merusak, dan mengarahkan hidup pada hal-hal yang bernilai.

2. Menerima Alam dan Takdir

Hidup yang selaras dengan logos berarti menerima kejadian sebagaimana adanya — dengan lapang dada, bukan keluh kesah — sebab semua yang terjadi adalah bagian dari hukum alam yang rasional.

3. Mengembangkan Kebajikan

Logos tidak dapat dipisahkan dari kebajikan. Menjadi selaras dengannya berarti mengembangkan nilai-nilai seperti keadilan, keberanian, pengendalian diri, dan kebijaksanaan.

Contoh Praktis dalam Kehidupan Sehari-hari

A. Mengelola Emosi Saat Gagal

Alih-alih marah atau menyalahkan keadaan, orang yang selaras dengan logos akan melihat kegagalan sebagai bagian dari proses belajar dan kehendak alam yang lebih besar.

B. Menghadapi Ketidakpastian

Dalam menghadapi masa depan yang tidak pasti, seorang Stoik tidak larut dalam kecemasan. Ia menggunakan rasio untuk menilai situasi dan bertindak berdasarkan kebajikan, bukan kepanikan.

C. Menahan Diri dari Nafsu

Selaras dengan logos berarti tidak dikendalikan oleh keinginan berlebihan akan harta, jabatan, atau pengakuan. Sebaliknya, hidup dijalani dengan sederhana dan penuh pengendalian diri.

Relevansi dalam Dunia Modern

Di tengah dunia yang penuh distraksi, tekanan sosial, dan materialisme, ajaran Chrysippus ini menjadi sangat relevan. Banyak orang merasa tersesat karena mengikuti gaya hidup yang tidak mereka pahami sepenuhnya. Mereka mengejar popularitas, kekayaan, atau validasi sosial tanpa menyadari bahwa hidup yang bermakna justru dimulai dari dalam — dari keselarasan batin dengan akal sehat dan prinsip moral.

Ketika kita hidup mengikuti dorongan emosional atau tekanan eksternal, kita terputus dari logos. Namun ketika kita hidup berdasarkan prinsip, berpikir jernih, dan bertindak bijaksana, kita menjadi utuh kembali — selaras dengan kodrat kita sebagai makhluk rasional.

Stoikisme: Filsafat untuk Semua Zaman

Stoikisme bukan filsafat kuno yang kaku. Ia adalah panduan hidup praktis. Epictetus, Marcus Aurelius, dan Seneca — semua mewarisi pemikiran Chrysippus — menerapkan ajaran ini dalam kehidupan nyata sebagai budak, kaisar, atau penasihat politik.

Berikut beberapa prinsip praktis dari Stoikisme:

  • Fokus pada hal yang dapat dikendalikan.
  • Terima dengan lapang dada yang tidak bisa dikendalikan.
  • Kembangkan kebajikan dalam segala keadaan.
  • Gunakan akal sebagai penuntun, bukan emosi.

Tabel Perbandingan: Hidup Selaras vs. Tidak Selaras dengan Logos

Aspek Kehidupan

Tidak Selaras dengan Logos

Selaras dengan Logos

Pengambilan keputusan

Emosional, impulsif

Rasional, terukur

Reaksi terhadap kegagalan

Marah, putus asa

Refleksi, penerimaan

Tujuan hidup

Kepuasan diri, kekayaan

Kebajikan, integritas

Sikap terhadap dunia

Mengeluh, melawan

Menerima, bertindak bijak

Cara Menjadi Selaras dengan Logos

1.     Luangkan waktu untuk berpikir sebelum bertindak.

2.     Evaluasi emosi yang muncul: dari mana dan untuk apa?

3.     Tanyakan setiap hari: Apakah ini selaras dengan kebajikan?

4.     Belajar menerima hasil akhir dengan legawa.

5.     Latih disiplin diri secara konsisten.

Penutup: Logos sebagai Kompas Hidup

Chrysippus tidak hanya menawarkan teori, tetapi jalan hidup. Dalam dunia yang penuh kebingungan dan kekacauan, ia mengajak kita untuk kembali pada hal paling mendasar: rasio, akal sehat, dan tatanan alam semesta. Dalam logos, kita menemukan arah. Dalam logos, kita menemukan kedamaian.

“Ketika manusia hidup selaras dengan logos, ia tidak hanya menjadi bijak — ia menjadi utuh.”