Albert Camus: “Kebodohan Punya Cara Sendiri untuk Menang”

Albert Camus
Sumber :
  • Cuplikan layar

"Stupidity has a knack of getting its way."
Albert Camus

René Descartes: Filsuf Abad ke-17 yang Tetap Relevan di Era Digital

Jakarta, WISATA - Dalam dunia yang dipenuhi informasi, opini, dan kebisingan digital, kutipan Albert Camus ini terasa menampar kesadaran kita. Ia menyatakan bahwa kebodohan memiliki bakat untuk mendapatkan jalannya sendiri. Artinya, dalam banyak keadaan, ketidaktahuan bukan hanya hadir — tetapi sering kali menang.

Ini bukan sekadar ejekan terhadap kebodohan. Kalimat Camus mencerminkan kekecewaan seorang pemikir terhadap masyarakat yang kerap lebih percaya pada hal-hal dangkal daripada kebenaran yang rumit. Dan sayangnya, dalam berbagai segi kehidupan sosial, politik, dan budaya, kutipan ini terbukti relevan hingga hari ini.

Seneca: Selama Masih Ada Manusia, Selalu Ada Ruang untuk Kebaikan

Kebodohan: Bukan Sekadar Ketidaktahuan

Dalam pengertian umum, kebodohan sering disamakan dengan kurangnya pengetahuan. Namun Camus tampaknya berbicara tentang sesuatu yang lebih dalam — kebodohan yang disengaja. Yakni kondisi di mana seseorang memilih untuk mengabaikan kebenaran, menolak berpikir kritis, dan lebih nyaman dengan opini dangkal karena terasa lebih aman atau populer.

Seneca: Orang yang Takut Mati Tak Akan Pernah Hidup Sepenuhnya

Kebodohan semacam ini bukan hanya masalah personal, tetapi dapat menjadi epidemi sosial. Ketika orang-orang berhenti berpikir, ketika diskusi publik digantikan oleh ujaran emosional, ketika fakta dikalahkan oleh sensasi, maka kebodohan perlahan mengambil alih.

Mengapa Kebodohan Menang?

Camus menggunakan kata "knack" — sebuah kemampuan khusus — yang menunjukkan bahwa kebodohan punya caranya sendiri untuk menyusup, menyebar, dan mengalahkan. Dalam masyarakat modern, ada beberapa faktor yang membuat kebodohan lebih mudah “menang”:

1.     Informasi Instan dan Tidak Tersaring
Di era digital, semua orang bisa bicara. Tapi tidak semua yang dibicarakan memiliki dasar kebenaran. Informasi yang viral bukanlah yang paling benar, tetapi yang paling menarik. Ini membuka ruang lebar bagi kebodohan untuk berkembang.

2.     Popularitas Mengalahkan Kompetensi
Di banyak negara, tokoh publik lebih mudah mendapat sorotan karena kontroversi daripada karena kecerdasan. Pemimpin yang bermain dengan emosi publik sering kali lebih mudah terpilih daripada yang menawarkan gagasan rasional.

3.     Budaya Anti-Kritis
Dalam banyak kasus, berpikir kritis dianggap sebagai bentuk perlawanan atau keributan. Alih-alih didorong untuk bertanya, masyarakat justru didorong untuk patuh, menerima, dan tidak banyak protes.

Dampak Kebodohan yang Berkuasa

Ketika kebodohan mendapatkan jalannya, dampaknya bukan hanya pada diskursus publik, tetapi juga pada kebijakan, pendidikan, dan bahkan masa depan sebuah bangsa. Kita bisa melihat ini dalam berbagai bentuk:

  • Penyebaran hoaks dan teori konspirasi yang menyebabkan keraguan terhadap vaksin, ilmu pengetahuan, dan kesehatan publik.
  • Kebijakan populis yang hanya menjual mimpi tanpa rencana konkret.
  • Pendidikan yang dangkal, yang hanya mengejar angka, bukan proses berpikir.

Camus memahami bahwa perjuangan melawan kebodohan bukanlah hal mudah. Namun, ia juga menyiratkan bahwa diam bukanlah pilihan. Kecerdasan, keberanian berpikir, dan nalar kritis harus terus disuarakan — meski kalah populer.

Indonesia dan Tantangan Nalar Publik

Di Indonesia, tantangan kebodohan ini sangat nyata. Kita hidup di tengah derasnya arus informasi, namun kemampuan literasi digital dan literasi kritis masyarakat masih tergolong rendah.

Survei UNESCO dan OECD menunjukkan bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia masih berada di peringkat bawah secara global. Di sisi lain, penyebaran hoaks politik, kesehatan, dan sosial terjadi hampir setiap hari. Media sosial yang seharusnya menjadi alat berbagi pengetahuan, justru kerap menjadi ladang subur bagi kebodohan kolektif.

Camus dan Tanggung Jawab Intelektual

Camus bukan sekadar penulis eksistensialis. Ia adalah pemikir yang percaya bahwa setiap manusia bertanggung jawab atas dunia yang ia tinggali. Dalam menghadapi kebodohan, Camus tidak menyarankan agresi, tetapi mengajak kita untuk terus berpikir, terus bertanya, dan tidak menyerah pada kenyamanan ketidaktahuan.

Melawan kebodohan bukan soal merasa paling benar, tetapi soal tidak berhenti belajar dan mencari tahu. Setiap individu yang memilih untuk membaca, menganalisis, dan bersikap kritis, adalah benteng terakhir melawan arus ketidaktahuan yang kian menguat.

Penutup: Jangan Biarkan Kebodohan Menang

Camus mengingatkan bahwa kebodohan sering kali menang bukan karena kekuatannya, tapi karena banyak orang yang cerdas memilih untuk diam. Dalam dunia yang semakin kompleks, kebutuhan akan pemikiran kritis dan suara yang bernalar menjadi sangat mendesak.

Kita mungkin tidak bisa mengubah dunia sendirian, tetapi kita bisa memulai dari diri sendiri: dengan membaca lebih banyak, mendengar lebih dalam, dan bicara dengan pertimbangan. Jika tidak, kita akan menjadi bagian dari masyarakat yang hanya berjalan ke depan karena kebodohan yang punya cara untuk menang