Epictetus: Kebijaksanaan dalam Bersyukur, Bukan Bersedih atas yang Hilang

Epictetus
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA - Dalam dunia yang terus memompa ambisi dan membandingkan pencapaian, sering kali manusia lebih sibuk menghitung apa yang belum ia miliki dibandingkan mensyukuri apa yang sudah ada dalam genggamannya. Filsuf Stoik Epictetus, yang hidup lebih dari dua ribu tahun lalu, menekankan pesan abadi tentang kebahagiaan sejati:

Pierre Hadot: “Filsafat adalah Pilihan Eksistensial yang Menuntut Transformasi Cara Hidup”

“He is a wise man who does not grieve for the things which he has not, but rejoices for those which he has.”

Ini bukan sekadar nasihat moral, tetapi kunci mendasar untuk menjalani hidup yang damai, stabil, dan memuaskan secara batin.

Socrates dan Rahasia Hidup Bahagia: Mengapa Hidup yang Baik Lebih Penting daripada Sekadar Hidup

Budaya Modern dan Ilusi Kekurangan

Kita hidup di tengah sistem yang membuat kita merasa kurang. Iklan, media sosial, dan budaya konsumtif terus-menerus membisiki bahwa kita belum cukup sukses, belum cukup cantik, belum cukup kaya, atau belum cukup bahagia.

Socrates: “Bukan Hidup yang Penting, Tetapi Hidup yang Baik” — Makna Mendalam di Balik Hidup Manusia

Semua ini menciptakan perasaan kekurangan buatan yang menumbuhkan kesedihan atas apa yang belum kita miliki, dan secara perlahan memadamkan rasa syukur atas hal-hal yang sudah ada.

Epictetus mengajak kita berhenti sejenak dan menoleh ke dalam diri. Bukan untuk mencari apa yang hilang, melainkan untuk menyadari kelimpahan yang tersembunyi dalam keseharian.

Makna Kebijaksanaan Menurut Epictetus

Epictetus tidak mendefinisikan orang bijak sebagai mereka yang punya gelar tinggi, pengaruh besar, atau kekayaan melimpah. Baginya, kebijaksanaan adalah kemampuan untuk tidak tenggelam dalam duka atas sesuatu yang tidak kita miliki, dan sebagai gantinya, menemukan sukacita dalam apa yang sudah kita miliki saat ini.

Bukan berarti kita tidak boleh bercita-cita lebih tinggi. Tapi sebelum melangkah, rasa syukur adalah fondasi yang harus dibangun terlebih dahulu. Karena tanpa syukur, pencapaian apa pun akan terasa hampa.

Duka Karena Kekurangan: Sumber Derita yang Tak Pernah Usai

Banyak orang hidup dalam bayang-bayang kesedihan karena merasa hidupnya “belum cukup”. Padahal, ukuran “cukup” sebenarnya tidak ditentukan oleh jumlah barang atau status sosial, melainkan oleh cara kita memandang hidup.

Seorang pekerja biasa bisa merasa cukup dan bahagia karena keluarganya sehat dan rumahnya damai. Sementara miliarder bisa merasa miskin karena kalah bersaing dari rekan bisnisnya.

Kunci dari semuanya bukan pada jumlah, melainkan pada sudut pandang. Di sinilah kebijaksanaan Epictetus menjadi terang benderang: kita bisa memilih untuk bahagia dengan apa yang kita punya, atau terus menderita karena memikirkan apa yang belum kita punya.

Mengapa Bersyukur Membuat Kita Bahagia?

Penelitian psikologi modern justru mendukung pandangan Epictetus. Praktik bersyukur terbukti:

  • Meningkatkan kesejahteraan emosional
  • Mengurangi depresi dan kecemasan
  • Meningkatkan kualitas tidur
  • Menumbuhkan empati dan koneksi sosial
  • Memperkuat sistem imun

Dengan bersyukur, kita tidak hanya mengubah suasana hati, tapi juga mengubah cara kerja otak dan tubuh kita. Kebahagiaan pun menjadi sesuatu yang bisa dilatih, bukan hanya dicari.

Cara Praktis Menghidupi Kebijaksanaan Epictetus

1.     Tuliskan Tiga Hal yang Kamu Syukuri Setiap Hari
Meski kecil, latihan ini bisa mengubah cara pandang kita terhadap hidup.

2.     Fokus pada Apa yang Bisa Diperbuat, Bukan yang Tidak Dimiliki
Alih-alih mengeluh karena belum punya rumah besar, syukuri rumah kecil yang nyaman. Lakukan perawatan, dekorasi, dan pembersihan dengan penuh cinta.

3.     Kurangi Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Bandingkan dirimu dengan dirimu yang dulu, bukan dengan orang lain yang kamu lihat di media sosial.

4.     Latih Kesadaran (Mindfulness)
Hadir sepenuhnya dalam momen kini bisa membantu kita melihat bahwa apa yang kita punya sekarang, meskipun tampak sederhana, sebenarnya sangat berharga.

5.     Rayakan Hal-Hal Sederhana
Kebahagiaan tidak harus megah. Sebuah senyuman dari anak, makan bersama keluarga, atau tawa dengan sahabat bisa jadi sumber sukacita jika kita sadar menikmatinya.

Dari Kekurangan ke Kelimpahan: Sebuah Pergeseran Kesadaran

Epictetus mengajarkan bahwa hidup bukan tentang mengumpulkan sebanyak-banyaknya, tetapi tentang mengapresiasi sepenuhnya apa yang kita punya.

Saat kita mengubah fokus dari kehilangan ke keberlimpahan, kita mengubah energi hidup kita. Yang dulunya terasa penuh tekanan, kini terasa lapang. Yang dulu membebani, kini menjadi berkah.

Kesimpulan: Kebahagiaan Itu Soal Cara Pandang

Dalam dunia yang mengajarkan kita untuk terus mengejar, filsafat Epictetus adalah pengingat yang menenangkan: berhenti sejenak dan lihatlah apa yang sudah kamu miliki. Barangkali di situlah kebahagiaan yang kamu cari selama ini bersembunyi.

Kebijaksanaan sejati bukan terletak pada pencapaian luar, tetapi pada kedamaian dalam menerima, mensyukuri, dan merayakan hidup seperti apa adanya.

“Orang bijak bukanlah ia yang bersedih karena apa yang tidak dimilikinya, melainkan ia yang bersukacita atas apa yang ia miliki.” — Epictetus