Marcus Aurelius: Mencari Kebenaran, Bukan Ego — Seni Menerima Kritik demi Hidup yang Lebih Bijak
- Image Creator Bing/Handoko
Jakarta, WISATA — Dalam dunia yang kerap terjebak dalam debat kusir dan ego pribadi, pemikiran Marcus Aurelius, filsuf Romawi sekaligus Kaisar Stoik yang terkenal karena kedalaman kontemplasinya, kembali menggugah kesadaran kita akan pentingnya kerendahan hati dalam berpikir dan bertindak. Dalam salah satu kutipannya yang terkenal, Marcus menyatakan:
“If anyone can refute me—show me I’m making a mistake or looking at things from the wrong perspective—I’ll gladly change. It’s the truth I’m after, and the truth never harmed anyone.”
(Jika ada yang bisa membantahku—menunjukkan bahwa aku salah atau melihat sesuatu dari sudut pandang yang keliru—aku akan dengan senang hati berubah. Yang kucari adalah kebenaran, dan kebenaran tidak pernah menyakiti siapa pun.)
Filsafat yang Melampaui Ego
Pernyataan ini mencerminkan semangat Stoisisme yang menekankan pencarian kebenaran, bukan pembenaran diri. Marcus Aurelius mengajarkan bahwa kekuatan sejati seorang manusia terletak pada kemampuannya untuk berubah ketika dihadapkan pada argumen yang lebih baik. Alih-alih mempertahankan pandangan secara keras kepala, ia mendorong kita untuk terbuka terhadap koreksi.
Dalam iklim digital saat ini, di mana banyak orang bersikeras mempertahankan opininya meskipun keliru, kata-kata Marcus menawarkan pelajaran berharga: mendengarkan, mengevaluasi, dan menerima kebenaran adalah bentuk kekuatan, bukan kelemahan.
Kebenaran Tidak Menyakiti, Ego yang Menolak
Marcus menegaskan bahwa kebenaran tidak pernah menyakiti siapa pun. Yang menyakitkan adalah penolakan ego kita terhadap kenyataan. Banyak konflik, baik dalam hubungan pribadi, organisasi, maupun skala global, bermula dari ketidakmauan seseorang menerima bahwa mereka mungkin salah.
Di sinilah pentingnya pengendalian diri dalam Stoisisme: belajar menanggalkan ego, menerima kritik dengan kepala dingin, dan melihatnya sebagai peluang untuk tumbuh, bukan ancaman terhadap harga diri.
Relevansi dalam Dunia Modern
Dalam dunia kerja, politik, pendidikan, bahkan media sosial, keberanian untuk berkata, "Saya salah dan saya akan berubah," jarang ditemukan. Padahal, itu adalah ciri pemimpin sejati. Marcus memberi contoh sebagai seorang kaisar yang tidak merasa malu untuk dikoreksi, bahkan oleh orang biasa sekalipun, selama itu menyangkut kebenaran.
Bagi kaum profesional, pelajar, dan siapa pun yang ingin bertumbuh, kutipan ini menjadi kompas moral: jangan cari validasi, cari pemahaman yang benar.
Latihan Kerendahan Hati ala Stoik
Filosofi Marcus bisa diterapkan dalam langkah sederhana sehari-hari:
- Dengarkan argumen lawan bicara sampai tuntas tanpa menyela.
- Tinjau kembali keputusan yang diambil dan buka ruang untuk evaluasi.
- Minta umpan balik, bukan pujian.
- Ucapkan “saya salah” dengan tulus jika terbukti demikian.
Ini bukan tentang mengalah. Ini tentang memenangkan pertempuran melawan kesombongan diri.
Kebenaran Adalah Tujuan, Bukan Kepuasan Diri
Marcus Aurelius tidak berbicara tentang kebenaran sebagai hal absolut dalam dogma, tapi sebagai proses pencarian terus-menerus. Ia sadar, manusia bisa keliru. Namun kekeliruan bisa diperbaiki jika kita mau mendengar dan mengoreksi diri. Inilah cara berpikir yang menjunjung intelektualitas dan kebijaksanaan.
“It’s the truth I’m after, and the truth never harmed anyone.”
Penutup: Dari Kekuasaan ke Kesadaran
Sebagai kaisar Kekaisaran Romawi yang luas, Marcus Aurelius bisa saja memilih untuk mengabaikan kritik dan mempertahankan kekuasaan tanpa koreksi. Namun, ia memilih jalan yang lebih suci: kerendahan hati untuk berubah.
Dalam masyarakat yang kerap mengagungkan opini pribadi, ajaran Marcus ini kembali relevan: kita butuh lebih banyak pencari kebenaran, bukan pembela harga diri.