Filsafat di Masa Kekaisaran Roma: Dari Praktis Menuju Transenden
- Image Creator Bing/Handoko
Neoplatonisme, yang digagas oleh Plotinus, menawarkan jalan spiritual melalui pemurnian jiwa dan penyatuan mistis dengan “Yang Maha Esa” (The One). Dalam sistem metafisikanya, dunia ini hanyalah bayangan dari realitas tertinggi. Jiwa manusia harus kembali ke asalnya dengan cara kontemplasi dan asketisme.
Plotinus percaya bahwa filsafat adalah jalan pulang ke rumah spiritual manusia, sebuah proses menaiki tangga keberadaan — dari dunia materi menuju dunia ide, hingga akhirnya menyatu dalam keheningan mutlak.
Filsafat Sebagai Gaya Hidup dan Pelarian Spiritual
Yang unik di masa Kekaisaran Roma adalah bagaimana filsafat menjadi gaya hidup. Banyak kaum elite yang mengundang filsuf ke rumahnya, bukan hanya untuk belajar, tetapi juga untuk menemukan pegangan hidup. Di sisi lain, banyak pula yang menghindari dunia dengan mengasingkan diri dan bermeditasi, mencari makna batin dalam kesunyian.
Filsafat bukan hanya pengisi waktu, tapi respon terhadap kekacauan batin dan sosial. Di masa ketika agama-agama baru mulai bermunculan dan kepercayaan lama goyah, filsafat tampil sebagai jembatan antara rasionalitas dan spiritualitas.
Persinggungan dengan Agama Kristen
Pada masa akhir Kekaisaran Roma, terjadi interaksi menarik antara filsafat, khususnya Neoplatonisme, dengan agama Kristen awal. Para Bapa Gereja seperti Agustinus banyak terinspirasi oleh pemikiran Plotinus dan Plato. Konsep tentang Tuhan yang sempurna, jiwa yang abadi, dan pencarian menuju terang ilahi menjadi titik temu antara filsafat dan iman.