Filsafat di Masa Kekaisaran Roma: Dari Praktis Menuju Transenden
- Image Creator Bing/Handoko
- Epiktetos, seorang budak yang menjadi guru filsafat, mengajarkan bahwa kebebasan sejati bukan terletak pada status sosial, melainkan pada penguasaan diri dan kesadaran akan apa yang bisa dan tidak bisa kita kendalikan.
- Seneca, penasihat kaisar Nero, menulis esai moral yang mengajak manusia untuk hidup sederhana, menahan amarah, dan melihat kematian sebagai bagian alami dari kehidupan.
- Marcus Aurelius, seorang kaisar-filsuf, menulis Meditationes yang menjadi salah satu karya filsafat moral terbesar. Dalam kesibukan memimpin kekaisaran, ia tetap merenungkan kehidupan, kebajikan, dan peran manusia dalam semesta.
Stoisisme di Roma menjadi alat untuk mencapai ketenangan batin di tengah kekacauan luar. Para filsuf Stoa menunjukkan bahwa filsafat bukan hanya untuk berpikir, tetapi untuk bertahan — bahkan di pusat kekuasaan dunia.
Epikureanisme: Keseimbangan antara Nikmat dan Ketenangan
Di sisi lain, Epikureanisme juga menemukan tempatnya di kalangan orang Romawi. Ajaran ini tidak mendorong kesenangan tanpa batas, seperti yang sering disalahpahami, tetapi justru menekankan hidup sederhana, menghindari rasa takut (terutama terhadap dewa dan kematian), dan mencari persahabatan sejati.
Tokoh seperti Lucretius lewat karyanya De Rerum Natura (Tentang Hakikat Alam), mempopulerkan pandangan dunia Epikurean yang bersandar pada atomisme, rasionalitas, dan keindahan keteraturan alam. Ia menentang takhayul dan mengajak manusia hidup selaras dengan hukum alam yang bisa dipahami secara ilmiah.
Neoplatonisme dan Plotinus: Jalan Mistis Menuju Satu
Memasuki abad ke-3 M, muncul kebutuhan spiritual baru yang tidak cukup dijawab oleh logika dan etika semata. Dalam suasana kekaisaran yang mulai melemah dan konflik batin masyarakat yang semakin dalam, filsafat bergerak ke ranah yang lebih transenden.