Plato dan Al-Farabi: Dua Pilar Pemikir Negara Ideal
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA - Plato dan Al-Farabi adalah dua nama yang tak bisa dilewatkan dalam sejarah filsafat ketika membahas tentang negara ideal, kebajikan, dan peran filsuf dalam tatanan masyarakat. Plato hidup di Yunani Kuno pada abad ke-4 SM, sementara Al-Farabi hidup di dunia Islam pada abad ke-10 M. Meski terpisah oleh ruang dan waktu, keduanya memiliki benang merah yang kuat dalam gagasan tentang tatanan sosial yang adil dan peran penting filsafat dalam kehidupan publik.
Negara Ideal sebagai Puncak Peradaban
Plato dalam karya terkenalnya The Republic (Politeia) mengembangkan konsep negara ideal yang dipimpin oleh “raja-filsuf.” Menurut Plato, masyarakat harus terbagi ke dalam tiga kelas: penguasa (filsuf), penjaga (militer), dan produsen (petani dan pengrajin). Keadilan terjadi ketika setiap kelas menjalankan fungsinya tanpa mencampuri tugas kelas lain. Filsuf, sebagai pemilik pengetahuan tentang dunia ide, layak menjadi pemimpin karena ia tahu apa itu “kebaikan” sejati.
Al-Farabi, dalam karyanya Al-Madina Al-Fadila (Kota Utama), mengambil inspirasi dari konsep negara ideal Plato namun menambahkan dimensi Islam yang khas. Bagi Al-Farabi, negara yang utama adalah negara yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang bukan hanya menguasai ilmu dan filsafat, tetapi juga memiliki hubungan spiritual yang erat dengan Tuhan. Negara ideal menurutnya adalah tempat di mana masyarakat diarahkan untuk mencapai “sa’adah” atau kebahagiaan sejati, yang bukan sekadar kebahagiaan duniawi, tetapi kebahagiaan intelektual dan spiritual.
Plato membangun struktur negara berdasarkan teori jiwa, sementara Al-Farabi memadukannya dengan tujuan akhir kehidupan menurut ajaran Islam: menyatu dengan akal aktif dan meraih kebahagiaan abadi. Di sini terlihat bagaimana Al-Farabi menyerap pemikiran Yunani lalu menyelaraskannya dengan nilai-nilai Islam.
Peran Filsuf: Penjaga Kebajikan dan Penuntun Masyarakat
Bagi Plato, filsuf adalah manusia yang telah membebaskan dirinya dari belenggu dunia inderawi dan mampu menangkap dunia ide—realitas sejati yang berada di balik penampakan fisik. Oleh karena itu, hanya filsuf-lah yang tahu apa itu kebaikan sejati, dan karena itu pula ia yang paling layak memimpin. Dalam alegori gua-nya yang terkenal, Plato menggambarkan bagaimana manusia hidup dalam bayang-bayang ilusi, dan hanya filsuf yang mampu keluar dari gua untuk melihat kebenaran yang hakiki.