Ketika Timur dan Barat Bertemu: Dialog Filsafat antara René Descartes dan Al-Farabi tentang Akal, Tuhan, dan Kebenaran

René Descartes dan Al-Farabi
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Jakarta, WISATA - Apa jadinya jika seorang filsuf rasionalis asal Prancis bertemu secara intelektual dengan pemikir agung dunia Islam? René Descartes dan Al-Farabi memang hidup dalam dunia dan zaman yang berbeda, namun pemikiran mereka tentang akal, kebenaran, dan Tuhan menyentuh inti dari pencarian manusia sepanjang masa. Keduanya adalah tokoh monumental yang menjadikan rasionalitas sebagai pusat dari kehidupan manusia, namun dengan jalan dan tujuan yang tak selalu sama.

Kisah Para Sufi: Ibn Sab'in, Sang Sufi dari Andalusia yang Menjadi Simbol Keteguhan Ilmu dan Makrifat

Mari kita menyelami percakapan lintas zaman ini—antara Descartes sang pencetus “Aku berpikir, maka aku ada,” dan Al-Farabi sang arsitek “Kota Utama” yang menempatkan akal dan moralitas sebagai fondasi masyarakat ideal.

Akal: Titik Awal Segala Sesuatu

Marcus Aurelius: “Jika Itu Tidak Benar, Jangan Katakan; Jika Itu Tidak Benar, Jangan Lakukan”

Descartes memulai segalanya dari keraguan. Ia menggugat semua keyakinan, bahkan hingga keberadaan dunia fisik. Namun, dari kehampaan itu, ia menemukan satu kepastian: “Aku berpikir, maka aku ada.” Pikiran menjadi bukti paling awal dan paling nyata akan eksistensinya.

Sementara itu, Al-Farabi menenun filsafatnya melalui pengaruh Plato, Aristoteles, dan tradisi Islam. Ia melihat akal sebagai cahaya ilahi yang mampu membimbing manusia menuju realitas tertinggi. Dalam pemikirannya, akal tidak hanya menjawab keraguan, tapi juga menyusun struktur kosmos dan moral.

Karya-Karya Filsuf Muslim yang Hingga Kini Masih Menjadi Rujukan Peradaban Barat

Meski berbeda jalan, keduanya setuju: akal adalah kunci menuju pengetahuan sejati.

Tentang Tuhan: Jaminan Kebenaran atau Sumber Segala Keberadaan?

Halaman Selanjutnya
img_title