Al-Ghazali: "Rasionalitas yang tidak disertai dengan keimanan adalah kekosongan; keimanan tanpa akal, hanya kedangkalan

Ibnu Rusyd, Al-Ghazali dan Aristoteles
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Jakarta, WISATA - Kata-kata ini menyuarakan pandangan mendalam Al-Ghazali mengenai integrasi antara pemikiran rasional dan pengalaman keimanan. Menurutnya, pengetahuan dan logika tanpa keimanan tidak akan mampu menyentuh esensi batin manusia, sementara keimanan yang tidak didukung oleh pemikiran kritis dan rasional hanyalah dogma yang kaku. Artikel ini mengupas makna kutipan tersebut, menyelami latar belakang pemikiran Al-Ghazali, dan menggambarkan relevansinya dalam kehidupan modern.

Mulailah dari Pikiran: Pesan Massimo Pigliucci untuk Menjalani Hidup yang Lebih Baik

Latar Belakang Al-Ghazali

Al-Ghazali (1058–1111 M) adalah salah satu tokoh sentral dalam tradisi pemikiran Islam. Karyanya yang terkenal, Ihya Ulum al-Din (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), telah memberikan kontribusi besar dalam memperkuat dasar-dasar keimanan serta merangsang pemikiran etika dan spiritual. Beliau dikenal karena kritiknya terhadap pendekatan filsafat yang terlalu bergantung pada rasio dan pengakuan atas pentingnya pengalaman spiritual. Menurut Al-Ghazali, kehidupan yang utuh memerlukan keseimbangan antara pengetahuan rasional dan keimanan batin, sehingga manusia dapat mencapai pencerahan dan memahami hakekat kehidupan secara lebih mendalam.

Petuah Getir Marcus Aurelius: “Lakukan Apa yang Kamu Mau, Bahkan Jika Kamu Menghancurkan Dirimu Sendiri, …. “

Makna Kutipan

Dalam pandangan Al-Ghazali, rasionalitas dan keimanan harus berjalan beriringan. Rasionalitas memungkinkan kita mengolah informasi, menguji kebenaran melalui logika dan bukti, namun tanpa keimanan, pengetahuan itu akan terasa hampa dan tak bermakna. Sebaliknya, keimanan yang tidak disertai oleh akal akan terjebak dalam kebodohan dan tidak mampu mengatasi tantangan pikir kritis.

Kunci Kebahagiaan Menurut Epictetus: Berhenti Mengkhawatirkan Hal yang Di Luar Kendali

Pemikiran Al-Ghazali menyatakan bahwa keberadaan akal adalah anugerah yang harus dimanfaatkan untuk memahami kebenaran yang lebih tinggi. Ilmu dan logika mengarahkan kita ke dunia pengetahuan, sementara keimanan membawa kita kepada pengalaman spiritual yang mendalam—suatu kondisi yang memungkinkan jiwa menemukan makna sejati dalam eksistensinya. Kutipan ini mengajak setiap individu untuk tidak hanya mengandalkan salah satu dari kedua aspek tersebut, melainkan untuk mencari sinergi yang menghasilkan kebijaksanaan utuh.

Relevansi Pemikiran di Era Modern

Halaman Selanjutnya
img_title