Socrates vs. Kaum Sofis: Kritik Pedas dan Pengakuan Kontribusi dalam Sejarah Filsafat

Perdebatan Kaum Sofis dan Socrates
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Dalam sejarah filsafat Yunani Kuno, kaum Sofis dan Socrates sering kali ditempatkan dalam posisi yang berseberangan. Socrates, melalui dialog-dialog yang dicatat oleh muridnya, Plato, secara terang-terangan mengkritik kaum Sofis atas pendekatan mereka yang dianggap tidak bertanggung jawab terhadap kebenaran dan moralitas. Ia menuduh mereka sebagai manipulator kata-kata yang lebih mementingkan kemenangan dalam debat daripada mencari kebenaran sejati.

Zeno dari Citium: Mengikuti Takdir dengan Bijaksana

Namun, di sisi lain, beberapa ahli filsafat modern menilai bahwa kaum Sofis sebenarnya memberikan kontribusi penting dalam mengembangkan retorika dan pemikiran kritis di dunia Barat. Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai perdebatan ini, serta bagaimana warisan kaum Sofis dan Socrates masih relevan dalam kehidupan modern.

1. Kritik Socrates terhadap Kaum Sofis

Membingungkan Lawan, Meraih Kemenangan: Strategi Sun Tzu yang Relevan di Era Modern

Socrates percaya bahwa kebenaran bersifat objektif dan harus ditemukan melalui diskusi yang mendalam. Sebaliknya, kaum Sofis mengajarkan bahwa kebenaran bersifat relatif dan dapat berubah tergantung pada individu atau situasi.

Melalui metode dialektikanya, elenchus, Socrates kerap menguji pemikiran lawan debatnya dengan serangkaian pertanyaan yang menggali lebih dalam argumen mereka hingga akhirnya menemukan kontradiksi dalam pemikiran mereka sendiri.

Zeno dari Citium: Semesta yang Hidup dan Bijaksana

Beberapa kritik utama Socrates terhadap kaum Sofis meliputi:

a. Relativisme Kebenaran

Kaum Sofis terkenal dengan gagasan bahwa tidak ada kebenaran yang absolut. Salah satu tokoh utama mereka, Protagoras, menyatakan bahwa "Manusia adalah ukuran segala sesuatu", yang berarti bahwa setiap individu memiliki standar kebenaran masing-masing.

Socrates menolak gagasan ini karena menurutnya, jika kebenaran bersifat relatif, maka tidak ada dasar moral yang kokoh untuk membedakan antara yang benar dan yang salah. Dalam dialog Theaetetus, Plato mengisahkan bagaimana Socrates berdebat dengan murid-murid kaum Sofis mengenai bahaya dari pemikiran yang mengabaikan standar kebenaran yang universal.

b. Retorika tanpa Etika

Kaum Sofis dikenal sebagai guru retorika yang mengajarkan cara berargumen secara persuasif, terutama bagi para politikus dan pengacara. Namun, menurut Socrates, mereka tidak peduli apakah argumen mereka didasarkan pada kebenaran atau tidak.

Dalam Gorgias, Plato menampilkan dialog antara Socrates dan seorang Sofis bernama Gorgias, di mana Socrates mempertanyakan apakah retorika yang diajarkan oleh kaum Sofis benar-benar bertujuan untuk mencari kebenaran atau hanya sekadar alat manipulasi untuk memenangkan debat.

Bagi Socrates, pengetahuan sejati haruslah memiliki dasar etika, bukan sekadar alat untuk mempengaruhi opini publik.

c. Mengkomersialkan Ilmu Pengetahuan

Salah satu aspek yang paling dikritik oleh Socrates adalah fakta bahwa kaum Sofis menjual ilmu mereka dengan harga tinggi. Mereka mengajarkan retorika dan debat kepada siapa saja yang sanggup membayar, tanpa mempertimbangkan apakah ilmu yang diajarkan digunakan untuk tujuan yang baik atau buruk.

Dalam Apologi, Plato mencatat bahwa Socrates dengan bangga menyatakan bahwa ia tidak pernah meminta bayaran untuk ajaran-ajarannya, karena ia percaya bahwa kebijaksanaan adalah sesuatu yang tidak bisa diperjualbelikan.

2. Kontribusi Kaum Sofis dalam Perkembangan Pemikiran Barat

Meskipun Socrates mengecam metode kaum Sofis, beberapa filsuf modern menilai bahwa kaum Sofis tetap memberikan kontribusi penting dalam perkembangan pemikiran kritis, retorika, dan filsafat politik.

a. Pendorong Pemikiran Kritis dan Skeptisisme

Kaum Sofis mengajarkan pentingnya mempertanyakan otoritas dan tradisi yang sudah ada. Mereka menanamkan pemikiran bahwa tidak ada satu kebenaran mutlak, yang membuka jalan bagi pendekatan kritis dalam ilmu pengetahuan dan filsafat.

Beberapa pemikir modern melihat kaum Sofis sebagai pendahulu skeptisisme, yaitu aliran yang menolak menerima sesuatu sebagai kebenaran tanpa bukti yang cukup.

b. Pengembangan Ilmu Retorika dan Politik

Tanpa kontribusi kaum Sofis, seni berbicara dan persuasi dalam politik mungkin tidak berkembang sebagaimana yang kita kenal saat ini. Ilmu retorika yang mereka ajarkan menjadi dasar bagi sistem debat publik, hukum, dan komunikasi politik modern.

Tokoh-tokoh seperti Aristoteles, meskipun juga mengkritik kaum Sofis, tetap mengakui pentingnya retorika dalam kehidupan masyarakat. Dalam bukunya Rhetoric, Aristoteles mengembangkan teori persuasi yang masih digunakan hingga sekarang dalam dunia politik dan periklanan.

c. Relativisme dalam Ilmu Sosial

Konsep relativisme yang diperkenalkan oleh kaum Sofis juga telah memberi dampak besar dalam ilmu sosial modern, terutama dalam bidang antropologi dan sosiologi. Gagasan bahwa nilai dan norma bervariasi antara satu budaya dengan budaya lainnya adalah sesuatu yang masih relevan dalam studi budaya saat ini.

3. Perdebatan Kontemporer: Siapa yang Lebih Relevan di Era Digital?

Dalam era informasi dan media sosial saat ini, perdebatan antara pendekatan Socratic dan Sofistik terhadap kebenaran masih sangat relevan.

a. Kebangkitan "Kaum Sofis Modern" dalam Politik dan Media

Di dunia politik dan media, kita sering melihat bagaimana para politisi, jurnalis, dan influencer menggunakan retorika yang persuasif untuk mempengaruhi opini publik, terlepas dari apakah informasi yang disampaikan benar atau tidak.

Fenomena "post-truth" atau pasca-kebenaran, di mana emosi dan opini lebih berpengaruh daripada fakta objektif, mencerminkan bagaimana strategi kaum Sofis masih digunakan dalam dunia modern.

b. Pentingnya Pemikiran Kritis ala Socrates

Di tengah maraknya hoaks dan disinformasi, metode Socratic dalam bertanya secara kritis dan menguji argumen menjadi lebih penting dari sebelumnya.

Konsep fact-checking dan debunking hoaks yang kita temukan dalam jurnalistik modern sebenarnya sangat mirip dengan metode dialektika Socratic, di mana seseorang harus terus mempertanyakan kebenaran sebelum menerimanya sebagai fakta.

Kesimpulan

Meskipun Socrates secara keras mengkritik kaum Sofis atas pendekatan mereka yang dianggap tidak bertanggung jawab terhadap kebenaran, kita tidak bisa mengabaikan kontribusi kaum Sofis dalam perkembangan pemikiran Barat. Mereka membantu membentuk ilmu retorika, pemikiran kritis, dan konsep relativisme yang relevan dalam studi sosial dan budaya modern.

Namun, di era digital saat ini, pendekatan Socratic dalam menguji argumen secara kritis dan mencari kebenaran objektif menjadi sangat penting untuk melawan manipulasi informasi yang marak terjadi.

Sebagai masyarakat modern, kita dapat belajar dari kedua tradisi ini: menggunakan keahlian retorika kaum Sofis untuk menyampaikan ide dengan efektif, tetapi tetap mengadopsi pemikiran kritis ala Socrates agar tidak terjebak dalam informasi yang menyesatkan.