Pierre Hadot: Filsuf yang Mengungkap Kesalahan Akademisi dalam Memahami Stoicisme
- Image Creator Grok/Handoko
Jakarta, WISATA - Di dunia akademis, filsafat sering kali diperlakukan sebagai sekadar teori dan sejarah pemikiran. Para akademisi sibuk menelaah teks kuno, menguraikan konsep-konsep kompleks, dan berdebat tentang interpretasi yang tepat. Namun, seorang filsuf Prancis bernama Pierre Hadot justru menantang pendekatan ini. Ia mengungkapkan bahwa dunia akademis selama ini telah salah memahami Stoicisme dan berbagai tradisi filsafat kuno lainnya.
Bagi Hadot, filsafat bukan sekadar latihan intelektual atau sekumpulan teori yang dibahas dalam seminar-seminar universitas. Sebaliknya, ia melihat filsafat sebagai sebuah cara hidup—sebuah seni untuk menjalani kehidupan dengan lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih bermakna. Dan di sinilah letak kesalahpahaman utama yang sering dilakukan akademisi terhadap Stoicisme.
Stoicisme yang Sesungguhnya: Bukan Hanya Teori, Tetapi Gaya Hidup
Ketika mendengar kata Stoicisme, kebanyakan orang mungkin langsung membayangkan konsep ketahanan mental, mengendalikan emosi, dan menerima nasib dengan penuh ketenangan. Bagi dunia akademis, Stoicisme sering kali dipahami sebagai sebuah sistem pemikiran yang logis dan rasional, dengan konsep-konsep seperti determinisme, etika kebajikan, dan ketidakterikatan terhadap emosi.
Namun, menurut Hadot, pemahaman ini terlalu sempit dan cenderung keliru. Dalam berbagai bukunya, termasuk Philosophy as a Way of Life, ia menunjukkan bahwa Stoicisme pada zaman dahulu bukan hanya tentang teori, tetapi lebih kepada praktik sehari-hari yang membentuk karakter seseorang. Para filsuf Stoik seperti Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius tidak hanya menulis tentang filsafat, tetapi mereka juga menerapkannya dalam kehidupan nyata.
Bagi mereka, filsafat bukanlah sesuatu yang hanya dipelajari di dalam kelas atau diperdebatkan dalam jurnal akademik. Filsafat adalah latihan harian—sebuah disiplin diri yang membantu seseorang menghadapi kehidupan dengan lebih baik. Ini melibatkan refleksi diri, meditasi tentang kematian (memento mori), dan berbagai latihan mental untuk menjaga ketenangan di tengah kesulitan.
Hadot menegaskan bahwa dunia akademis modern telah kehilangan esensi ini. Akademisi lebih fokus pada menganalisis teks, membedah argumen, dan mencari makna tersembunyi di balik kata-kata kuno, tetapi mereka lupa bahwa filsafat Stoik sejati adalah tentang menjalani kehidupan dengan bijaksana, bukan sekadar membicarakannya.