Metode Socrates: Jurus Kuno yang Membuat Pelajar Zaman Now Makin Kritis dan Kreatif
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA - Bayangkan sebuah ruang kelas di mana guru tidak hanya berdiri di depan lalu menyampaikan materi, tetapi duduk bersama murid-muridnya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Mengapa kamu berpikir begitu?” atau “Bagaimana jika kita melihat masalah ini dari sudut pandang berbeda?” Itulah gambaran sederhana dari Metode Socrates, teknik mengajar yang dipraktikkan filsuf Yunani kuno 2.400 tahun lalu. Meski terlihat kuno, metode ini justru menjadi senjata rahasia di dunia pendidikan modern untuk melatih murid berpikir kritis. Di era yang dipenuhi TikTok, AI, dan informasi instan, mengapa cara belajar ala Socrates masih relevan? Mari kita selami kisahnya!
Apa Itu Metode Dialektika Socrates?
Metode dialektika Socrates, atau sering disebut metode Sokrates, adalah teknik pembelajaran yang mengandalkan dialog dan pertanyaan-pertanyaan mendalam. Alih-alih memberikan jawaban langsung, Socrates akan mengajak lawan bicaranya—baik murid, teman, atau bahkan orang asing—untuk menyelidiki pemikiran mereka sendiri melalui serangkaian pertanyaan. Tujuannya? Membongkar asumsi, menemukan kontradiksi, dan akhirnya mencapai pemahaman yang lebih utuh.
Misalnya, jika seorang murid berkata, “Demokrasi adalah sistem terbaik,” Socrates mungkin akan balik bertanya, “Apa definisi demokrasi menurutmu?” atau “Apa kelemahan demokrasi jika diterapkan di negara dengan tingkat korupsi tinggi?” Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk menjebak, melainkan memancing murid untuk berpikir lebih dalam, menganalisis argumen mereka sendiri, dan menyusun logika yang lebih kokoh.
Inilah keunggulan metode dialektika: ia mengubah pembelajaran dari sekadar menghafal fakta menjadi memahami konsep. Di zaman di mana informasi bisa diakses dalam hitungan detik, kemampuan untuk berpikir kritis dan analitis jauh lebih berharga daripada sekadar mengingat data.
Mengapa Metode Socrates Masih Relevan di Era Digital?
Di tengah banjir informasi dan tren pembelajaran digital yang serba cepat, metode Socrates justru muncul sebagai penyeimbang. Salah satu alasannya adalah kemampuannya untuk melawan mentalitas “copy-paste” yang kerap muncul di kalangan generasi muda. Dengan kemudahan mengakses Google, ChatGPT, atau YouTube, banyak pelajar terjebak pada kebiasaan mencari jawaban instan tanpa benar-benar memahami konteksnya.
Metode Socrates mengajak mereka untuk tidak puas dengan jawaban permukaan. Misalnya, ketika seorang siswa mencari informasi tentang perubahan iklim, guru bisa mengajukan pertanyaan seperti, “Apakah sumber yang kamu baca sudah kredibel?” atau “Apa dampak jangka panjang dari solusi yang diajukan artikel ini?” Pertanyaan-pertanyaan ini memaksa pelajar untuk tidak hanya mengutip informasi, tetapi juga mengevaluasi kualitasnya dan menghubungkannya dengan realitas.
Selain itu, laporan World Economic Forum 2020 menyebutkan bahwa critical thinking adalah keterampilan kedua paling penting yang dibutuhkan di dunia kerja 2025. Metode Socrates, dengan fokusnya pada analisis dan dialog, secara alami melatih kemampuan ini. Contohnya, dalam diskusi tentang kesenjangan sosial, guru bisa mengajak murid mempertanyakan, “Mengapa kemiskinan masih ada padahal teknologi sudah sangat maju?” atau “Apa peran individu dalam mengurangi ketimpangan?” Diskusi semacam ini tidak hanya memperkaya pengetahuan, tetapi juga melatih empati dan kemampuan problem-solving.