Metode Socrates: Jurus Kuno yang Membuat Pelajar Zaman Now Makin Kritis dan Kreatif
- Image Creator/Handoko
Hasilnya? Siswa tidak hanya paham alur cerita, tetapi juga mampu menghubungkan tema pendidikan dalam novel dengan isu modern seperti kesenjangan digital dan akses pendidikan di daerah terpencil. “Mereka jadi lebih kritis dan percaya diri menyampaikan pendapat,” ujar Bu Ani, salah satu guru Bahasa Indonesia di sekolah tersebut.
Tips untuk Orang Tua: Menerapkan Semangat Socrates di Rumah
Tak perlu menjadi filsuf atau guru profesional untuk melatih anak berpikir kritis. Berikut cara sederhana yang bisa dicoba orang tua di rumah:
1. Ganti Pertanyaan Tertutup dengan Pertanyaan Terbuka
Daripada bertanya, “Apakah PR-mu sudah selesai?” coba tanyakan, “Bagaimana cara kamu menyelesaikan PR matematika tadi? Apa bagian yang paling menantang?” Pertanyaan ini mendorong anak untuk merefleksikan proses belajarnya, bukan sekadar hasil akhir.
2. Ajak Diskusi tentang Konten Media Sosial
Saat anak menonton video TikTok tentang isu lingkungan, tanyakan pendapat mereka: “Menurutmu, apakah konten ini sudah menyajikan fakta lengkap? Apa yang mungkin dilewatkan?” Diskusi semacam ini melatih anak untuk tidak menerima informasi mentah-mentang.
3. Mainkan Permainan “Apa Jika…”
Contoh pertanyaan: “Apa yang terjadi jika semua orang di bumi jadi vegetarian?” atau “Apa jika Indonesia tidak pernah dijajah?” Permainan ini tidak hanya seru, tetapi juga melatih imajinasi, logika, dan kemampuan menghubungkan konsep.
Masa Depan Pendidikan: Akankah Robot Menggantikan Peran Socrates?
Di tengah maraknya kecerdasan buatan seperti ChatGPT, banyak yang bertanya: Apakah metode Socrates akan punah? Justru sebaliknya! Teknologi bisa menjadi “rekan diskusi” untuk mempraktikkan dialektika. Bayangkan sebuah aplikasi yang terus mengajukan pertanyaan kritis setiap kali siswa mencari informasi. Atau chatbot yang berperan sebagai “Socrates digital” untuk berdebat tentang etika teknologi.
Namun, peran guru tetap tidak tergantikan. Seperti kata Socrates sendiri, “Pendidikan bukan tentang mengisi ember, tetapi menyalakan api.” Api keingintahuan dan hasrat belajar itu hanya bisa dinyalakan melalui interaksi manusia yang autentik—bukan oleh algoritma atau robot.